Mengawali
bulan November 2014, terjadi perdebatan yang hangat di kalangan masyarakat
Indonesia dan warga DKI khususnya, mengenai pengangkatan Basuki Tjahja Purnama
(Ahok) menjadi Gubernur DKI Jakarta untuk menggantikan Joko Widodo yang kini
telah resmi menjadi Presiden NKRI. Pertempurannya pun tampak berlandaskan asas
yuridis, masing-masing kubu mempunyai dalil-dalil hukum. Namun pada sisi
lainnya, dapat dilihat dengan jelas bahwa pertarungan tersebut adalah
pertarungan yang dimulai oleh elit-elit politik yang tergabung dalam koalisi
merah putih terhadap “kaburnya” Ahok dari Gerindra yang notabene adalah corong
koalisi merah putih. Namun apapun itu, biarlah mereka bertarung semaksimal
mungkin. Semoga kaum akademisi tidak terlibat oleh logika-logika dan dalil-dalil
yang dikemukakan masing-masing politikus tersebut.
Dalam
Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus
Ibukota Jakarta Sebagai Ibukota Negara Kesatuan Republik Indonesia (UU Pemprov
DKI), tidak mengatur secara detail mengenai tugas dan tanggung jawab Wakil
Gubernur. Wakil Gubernur merupakan wakil kepala daerah Provinsi DKI Jakarta,
sedangkan Gubernur merupakan kepala daerah dan Wakil Pemerintah di wilayah
Provinsi DKI Jakarta. Dengan kata lain, Wakil Gubernur DKI merupakan wakilnya
Wakil Pemerintah. Selain dibantu oleh 1 orang Wakil Gubernur, Gubernur DKI juga
dibantu oleh sebanyak-banyaknya 4 orang Deputi sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan keuangan daerah, dan dari unsur pegawai negeri sipil yang memenuhi
persyaratan. (para) Deputi tersebut bertanggung jawab kepada Gubernur.
Pengangkatan dan pemberhentian (para) Deputi tersebut dilakukan oleh Presiden
atas usul Gubernur.
Dalam Pasal
2 UU Pemprov DKI menyebutkan bahwa Provinsi
DKI Jakarta diatur berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pemerintahan daerah dan pemilihan kepala daerah, kecuali hal-hal yang
diatur tersendiri dalam Undang-Undang ini. Dengan adanya norma tersebut di
dalam UU Pemprov DKI, maka pengaturan tentang pemilihan kepala daerah dan
pemerintahan daerah di DKI Jakarta merujuk pada undang-undang yang mengatur
tentang pilkada dan pemerintahan daerah, kecuali hal-hal khusus yang telah
diatur dalam UU Pemprov DKI itu sendiri. Ketentuan tersebut juga diperkuat
dengan adanya ketentuan dalam Pasal 199 Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan
Walikota (Perppu Pilkada) yang menyebutkan bahwa Ketentuan dalam Undang-Undang ini berlaku juga bagi penyelenggaraan
Pemilihan di Provinsi Aceh, Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Provinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, Provinsi Papua, dan Provinsi Papua Barat, sepanjang
tidak diatur lain dalam Undang-Undang tersendiri.
Dalam hal
Gubernur berhenti dari jabatannya, sebagaimana yang dilakukan oleh Joko Widodo
sebagai Gubernur DKI Jakarta, maka Wakil Gubernur DKI Jakarta lah yang
melaksanakan tugas sehari-hari Gubernur sampai dilantik atau diangkatnya penjabat
Gubernur. Pengaturan tersebut diatur dalam Pasal 88 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang menyebutkan bahwa Dalam hal pengisian jabatan gubernur
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1) belum dilakukan, wakil gubernur
melaksanakan tugas sehari-hari gubernur sampai dilantiknya gubernur atau sampai
dengan diangkatnya penjabat gubernur. Sedangkan Pasal 87 ayat (1)
undang-undang a quo menyebutkan bahwa
Apabila gubernur berhenti sebagaimana
dimaksud pada Pasal 78 atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan hukum tetap dilakukan pengisian jabatan gubernur
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai pemilihan kepala
daerah. Kemudian, yang dimaksud dalam Pasal 78 undang-undang a quo, adalah berhenti dari jabatan
karena meninggal dunia, permintaan sendiri, atau diberhentikan.
Untuk pengisian
penjabat Gubernur DKI Jakarta yang ditinggalkan oleh Joko Widodo, maka
ketentuan yang digunakan adalah mengacu pada Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada yang
menyebutkan bahwa Dalam hal terjadi
kekosongan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang diangkat berdasarkan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Wakil Gubernur,
Wakil Bupati, dan Wakil Walikota menggantikan Gubernur, Bupati, dan Walikota
sampai dengan berakhir masa jabatannya. Kemudian terjadi polemik yang
mendebatkan dasar hukum itu, yakni dengan menggunakan dasar Pasal 173 ayat (1)
dan Pasal 174 ayat (2) Perppu Pilkada. Adapun ketentuan yang diatur dalam Pasal
173 ayat (1) Perppu Pilkada adalah Dalam
hal Gubernur, Bupati, dan Walikota berhalangan tetap, Wakil Gubernur, Wakil
Bupati, dan Wakil Walikota tidak serta merta menggantikan Gubernur, Bupati, dan
Walikota. Dan ketentuan yang diatur dalam Pasal 174 ayat (2) Perppu Pilkada
adalah Apabila sisa masa jabatan Gubernur
berhenti atau diberhentikan berdasarkan putusan pengadilan yangtelah mempunyai
kekuatan hukum tetap dan sisa masa jabatan lebih dari 18 (delapan belas) bulan
maka dilakukan Pemilihan Gubernur melalui DPRD Provinsi.
Ketentuan Pasal
203 ayat (1) Perppu Pilkada merupakan bagian dari BAB XXVI tentang Ketentuan
Peralihan, sedangkan Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 174 ayat (2) tersebut
merupakan bagian dari BAB XXIII tentang Pengisian Wakil Gubernur, Wakil Bupati,
dan Wakil Walikota. Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, Ketentuan
Peralihan merupakan ketentuan yang memuat tentang penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang lama terhadap peraturan perundang-undangan yang baru,
yang bertujuan untuk menghindari kekosongan hukum, menjamin kepastian hukum,
memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak perubahan
ketentuan peraturan perundang-undangan, dan mengatur hal-hal yang bersifat
transisional atau bersifat sementara. Sedangkan BAB XXIII Perppu Pilkada
merupakan bab atau ketentuan yang mengatur mengenai substansi pembentukan
Perppu Pilkada itu sendiri. Oleh karena permasalahan pengisian penjabat
Gubernur DKI Jakarta bersifat transisional, maka ketentuan yang diatur dalam
Pasal 203 ayat (1) Perppu Pilkada menjadi landasan yuridis yang tepat karena
berada di dalam bab tersendiri mengenai transisi peraturan yang lama ke
peraturan yang baru.
Jika mengenai
pengisian kekosongan penjabat Gubernur yang diangkat berdasarkan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah telah otomatis dijabat oleh
Wakil Gubernur, maka pengisian kekosongan jabatan Gubernur yang diangkat bukan
berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah
mengacu pada ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Perppu Pilkada. Yaitu dengan
menggunakan landasan yuridis Pasal 173 ayat (1) dan Pasal 174 ayat (2) Perppu
Pilkada. Meskipun kedua ketentuan tersebut sebenarnya dapat dinyatakan tidak
berlaku karena dihapusnya tugas dan wewenang DPRD Provinsi untuk memilih
Gubernur sebagaimana yang diatur dalam Pasal I angka 1 Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Pada ketentuan peraturan
perundang-undangan lainnya, dalam Pasal 317 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014
tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU MD3) mengenai
wewenang dan tugas DPRD Provinsi, DPRD Provinsi hanya memiliki kewenangan memilih
Wakil Gubernur dalam hal terjadi kekosongan jabatan.
Sebagai sebuah
kesimpulan, pelantikan Basuki Tjahja Purnama alias Ahok sudah memiliki kekuatan
hukum yang jelas, karena menggunakan landasan yuridis yang diatur dalam Pasal
203 ayat (1) Perppu Pilkada dan ketentuan tersebut diatur tersendiri di dalam
bab khusus yang dikhususkan mengenai pengaturan yang bersifat transisional. Semoga
penjelasan mengenai polemik sah atau tidak sahnya Ahok sebagai Gubernur DKI
Jakarta menggantikan Joko Widodo di atas dapat membantu mencerahkan pembaca. Dan
penulisan ini tidak menutup potensi adanya sumbangsih koreksi dari pembaca. Sekian.
Balikpapan, 16 November 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar