Pada hari Jumat tanggal 28 November
2014 lalu, Pollycarpus Budihari Priyanto dibebaskan dari Lembaga Pemasyarakatan
Sukamiskin Bandung. Banyak pihak yang berkomentar perihal bebasnya terpidana
pembunuh aktivis HAM, Munir Said Thalib. Ada yang berpendapat bahwa bebasnya
Pollycarpus yang dianggap cepat itu telah mencederai kemerdekaan kekuasaan
kehakiman. Ada juga yang berpendapat bahwa negara telah abai terhadap kebebasan
hak asasi manusia karena pembunuh aktivis HAM tersebut bebas begitu cepat.
Namun di pihak pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM, menyatakan bahwa
Pembebasan Bersyarat yang diperoleh Pollycarpus sudah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan dan kita harus memperhatikan hak asasi yang dimiliki oleh
Pollycarpus.
Sebelum menganalisis lebih jauh,
baiknya untuk mengenali terlebih dahulu tentang apa itu Sistem Pemasyarakatan
yang berada di bawah kelola Kementerian Hukum dan HAM. Sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan,
menyebutkan bahwa sistem pemasyarakatan
adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan
Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara
Pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan
Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi
tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat
aktf berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga
yang baik dan bertanggung jawab. Sistem Pemasyarakatan ini diperkenalkan
oleh Sahardjo pada tanggal 5 Juli 1963 di saat beliau menerima pemberian gelar
Doktor Honoris Causa dalam bidang ilmu hukum oleh Universitas Indonesia. Pada
saat itu juga Sahardjo menjabat sebagai Menteri Kehakiman RI.
Sekitar bulan September 1963, Sahardjo
meninggal dunia dan ide tentang pemasyarakatan tersebut dikembangkan dan
dipertahankan oleh Bahrudin Suryosubroto, yang pada saat itu menjabat sebagai
Wakil Kepala Direktorat Kepenjaraan, dan dijabarkan dalam Konferensi Nasional
Kepenjaraan di Lembang tanggal 27 April 1964 (tanggal ini ditetapkan sebagai
Hari Bhakti Pemasyarakatan). Sehingga komitmen yang dibangun di Lembang saat
itu dituangkan ke dalam Surat Kantor Besar Direktorat Pemasyarakatan Nomor
J.H.6.8/506. Pada saat itu, konsep kepenjaraan yang sebelumnya dianut di
Indonesia mengalami perubahan drastis. Dimana awalnya menggunakan metode
pembalasan (retributif), penjeraan (deterrence),
dan resosialisasi, menjadi pembinaan dan pembimbingan.
Dengan diundangkannya Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, maka perihal pemasyarakatan atau
pelaksana putusan pengadilan merupakan bagian yang berdiri sendiri. Sebelum
tahun diundangkkannya undang-undang tersebut, pemasyarakatan masih berada di
dalam Departemen Kehakiman. Jika mengenai bebasnya seorang terpidana dan
dikaitkan dengan kehakiman, adalah hal yang salah kaprah. Kemudian, jika
seorang mengakui dan memuja konsep restorative
justice ataupun hukum progresif yang diperkenalkan oleh Satjipto Rahardjo,
maka setidaknya ia juga harus tunduk dan mengakui konsep pemasyarakatan tersebut.
Karena konsep restorative justice
maupun hukum progresif itu tidak berbeda dengan konsep pemasyarakatan.
Kemudian mengenai bebasnya Pollycarpus
Budihari Priyanto, dapat dilihat dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 109
PK/Pid/2007 yang diputuskan dalam rapat permusyawaratan Mahkamah Agung pada
tanggal 25 Januari 2008. Dalam putusannya, Mahkamah Agung memberikan pertimbangan
sebagai berikut:
Dalam
pengadilan tingkat pertama yang diselenggarakan di Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat pada tanggal 20 Desember 2005 Nomor: 1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst, amar
putusannya sebagai berikut:
I. Menyatakan
Terdakwa Pollycarpus Budihari Priyanto terbukti secara sah meyakinkan bersalah
melakukan perbuatan pidana “Turut melakukan pembunuhan berencana” dan “Turut
melakukan pemalsuan surat”;
II. Menghukum
Terdakwa oleh karena perbuatan tersebut dengan hukuman penjara selama 14 (empat
belas) tahun;
III. Menetapkan
lamanya masa tahanan Terdakwa yang telah dijalani dikurangkan seluruhnya dari
jumlah hukuman yang dijatuhkan;
IV. Menetapkan
Terdakwa tetap ditahan;
V.
Membebankan
biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp5.000,- (lima ribu rupiah);
VI.
Menetapkan
barang bukti berupa (28 buah)
Dalam
pengadilan tingkat kedua yang diselenggarakan di Pengadilan Tinggi Jakarta
tanggal 27 Maret 2006 Nomor: 16/PID/2006/PT.DKI, amar putusannya sebagai
berikut:
I. Menerima
permintaan banding dari Jaksa Penuntut Umum dan Terdakwa;
II.
Menguatkan
putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tanggal 20 Desember 2005 Nomor:
1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst, yang dimintakan banding tersebut;
III.
Menetapkan
Terdakwa tetap berada dalam tahanan;
IV. Membebankan
biaya perkara kepada Terdakwa pada kedua tingkat peradilan yang dalam tingkat
banding ditetapkan sebesar Rp5.000,- (lima ribu rupiah)
Dalam
pengadilan tingkat kasasi yang diselenggarakan di Mahakamah Agung RI tanggal 3
Oktober 2006 Nomor: 1185 K/Pid/2006, amar putusannya sebagai berikut:
I. Menolak
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi I: Jaksa/Penuntut Umum pada Kejaksaan
Negeri Jakarta Pusat tersebut;
II.
Mengabulkan
permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi II/Terdakwa: POLLYCARPUS BUDIHARI
PRIYANTO tersebut;
III.
Membatalkan
putusan Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor: 16/PID/2006/PT.DKI, tanggal 27 Maret
2006 yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Nomor:
1361/Pid.B/2005/PN.Jkt.Pst tanggal 20 Desember 2005
Mengadili sendiri:
1.
Menyatakan
Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO tidak terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan dalam dakwaan kesatu;
2.
Membebaskan
Terdakwa dari dakwaan kesatu tersebut;
3.
Menyatakan
Terdakwa POLLYCARPUS BUDIHARI PRIYANTO telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana “Menggunakan Surat Palsu”;
4. Menjatuhkan
pidana oleh karena itu kepada Terdakwa tersebut dengan pidana penjara selama 2
(dua) tahun;
5. Menetapkan
lamanya Terdakwa berada dalam tahanan sebelum putusan ini mempunyai kekuatan
hukum tetap, akan dikurangkan seluruhnya dari pidana penjara yang dijatuhkan;
6.
Menetapkan
barang bukti (28 buah)
Berdasarkan
keadaan baru yang disertai bukti-bukti dalam persidangan, Mahkamah Agung
menyatakan bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh Pollycarpus adalah tindak pidana
“melakukan pembunuhan berencana” dan “melakukan pemalsuan surat”, sebagaimana
yang diputuskan dalam pengadilan tingkat pertama pada Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat tanggal 20 Desember 2005. Namun mengenai pidananya dianggap tidak layak
dan tidak sesuai dengan perbuatan yang dilakukan Pollycarpus, Mahkamah Agung
menambahkan hukuman menjadi 20 tahun pidana penjara. Pidana penjara 20 tahun
tersebut dikurangi masa pidana yang telah dijalani Pollycarpus sebelumnya.
Di sini coba diandaikan dengan
hitungan ringan atau penghitungan yang menguntungkan paling terpidana, jika
saja penahanan terhadap Pollycarpus sejak awal Januari 2006, maka hingga saat
ini Pollycarpus telah menjalani penahanan selama 8 tahun. Sedangkan syarat Pembebasan
Bersyarat yang berhak diperoleh terpidana atau Warga Binaan Pemasyarakatan
dalam Lembaga Pemasyarakatan apabila yang bersangkutan telah menjalani
sekurang-kurangnya 2/3 masa pidana. Sedangkan 2/3 dari 20 tahun adalah 13 tahun
masa pidana yang harus dijalankan.
Kemudian mengenai potensi remisi yang
diterima oleh Pollycarpus, bahwa Warga Binaan Pemasyarakatan berhak mendapatkan
remisi apabila berkelakuan baik dan telah menjalani masa pidana lebih dari 6
bulan. Ada beberapa jenis remisi, antara lain remisi umum, remisi khusus, dan remisi
tambahan. Untuk remisi umum diberikan pada hari peringatan Proklamasi RI, dan
untuk remisi khusus diberikan pada hari besar keagamaan. Berdasarkan ketentuan
mengenai remisi sebagaimana yang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 174
Tahun 1999 tentang Remisi, jika diambil angka maksimal yang diperoleh Pollycarpus
adalah 7 tahun remisi hingga tahun 2014. Dasarnya adalah, pada tahun 2006 Pollycarpus
memperoleh remisi sebanyak 2 bulan remisi umum dan 1 bulan remisi khusus. Pada tahun
2007 Pollycarpus memperoleh remisi sebanyak 3 bulan remisi umum dan 1 bulan
remisi khusus, pada tahun 2008 Pollycarpus memperoleh remisi sebanyak 4 bulan
remisi umum dan 1 bulan remisi khusus, pada tahun 2009 Pollycarpus memperoleh
remisi sebanyak 5 bulan remisi umum dan 45 hari, dan pada tahun 2010-2014
secara konsisten Pollycarpus memperoleh 6 bulan remisi umum dan 2 bulan remisi
khusus tiap tahunnya.
Jika dijumlahkan, Pollycarpus
memperoleh remisi umum sebanyak 44 bulan (3 tahun 8 bulan), dan 14 bulan remisi
khusus (1 tahun 2 bulan). Kemudian, Pollycarpus menerima remisi tambahan
sebanyak 1/2 dari jumlah remisi umum (22 bulan) dan 1/3 dari jumlah remisi
khusus (4 bulan 15 hari, anggap saja bulan), maka Pollycarpus memperoleh remisi
tambahan sebanyak 26 bulan (2 tahun 2 bulan). Selanjutnya, kita harus
menjumlahkan keseluruhan remisi yang diperoleh Pollycarpus sampai dengan tahun
2014, yaitu 84 bulan (7 tahun).
Jika 20 tahun masa pidana dikurangi 7
tahun remisi, maka Pollycarpus mendapatkan hukuman 13 tahun pidana. Sedangkan masa
pidana yang telah dijalani Pollycarpus sejak tahun 2005 sampai dengan akhir
2014 adalah 9 tahun lebih. Dan lama pidana Pollycarpus adalah 9 tahun masa
pidana yang dijalani ditambah dengan 7 tahun pengurangan masa pidana (remisi),
menjadi 16 tahun. Sehingga tersisa 4 tahun masa pidana, dan 4 tahun tersebut
sudah memenuhi syarat untuk memperoleh pembebasan bersyarat. Artinya, sesuai
dengan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana perhitungan 2/3 masa pidana
yang telah disebutkan di atas. Penghitungan di atas dilakukan dengan cara
penghitungan yang sangat menguntungkan bagi Pollycarpus. Dengan menggunakan
penghitungan tersebut di atas, Pollycarpus telah memperoleh penundaan
penerimaan pembebasan bersyarat yang (mungkin) didasarkan pada keadilan dan
dampak yang akan timbul di masyarakat.
Apabila ketentuan pemberian remisi
terhadap Pollycarpus menggunakan pendekatan bahwa Pollycarpus dipidana
melakukan tindak pidana kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak
asasi manusia yang berat, maka Pollycarpus mendapatkan hak remisi setelah
menjalani 1/3 masa pidana (6 tahun). Artinya, pada tahun 2012 Pollycarpus baru
bisa mendapatkan hak remisi dari Lembaga Pemasyaraktan. Jika hingga tahun 2014,
maka Pollycarpus telah menerima 9 bulan remisi umum dan 3 bulan remisi khusus. Jika
ditambahkan dengan remisi tambahan, maka Pollycarpus memperoleh (12 bulan + 5
bulan 15 hari = 17 bulan 15 hari). Jadi, hingga akhir 2014, Pollycarpus
dianggap telah menjalani 10 tahunan masa pidana. Sedangkan masa pidana 10
tahunan belum memenuhi syarat memperoleh Pembebasan Bersyarat, karena belum
mencapai 2/3 hukuman pidana 20 tahun yang diterima Pollycarpus.
Jika menggunakan pendekatan yang
terakhir ini, jelas Pollycarpus masih harus menjalani masa pidana di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Sukamiskin Bandung. Namun yang menjadi pertanyaan,
apakah Pollycarpus benar-benar telah melakukan tindak pidana berupa kejahatan
terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat? Sedangkan
pembunuhan berencana yang terbukti di dalam sidang Peninjauan Kembali oleh
Mahkamah Agung merupakan pembunuhan terhadap seorang Munir Said Thalib oleh
Pollycarpus Budihari Priyanto, hal tersebut dapat diperiksa di dalam putusan
Mahkamah Agung perihal Peninjauan Kembali perkara tersebut. Kita tidak bisa
semata-mata Munir adalah aktivis HAM dan pejuang, lalu dengan serta merta
menganggap pembunuhan berencana yang dilakukan terhadapnya merupakan kejahatan
HAM berat. Apapun motif yang sebenarnya di balik pembunuhan berencana tersebut.
Terlebih motif yang diteriakkan oleh banyak orang tidak terungkap dan tidak
dinyatakan sebagai pertimbangan hukum majelis hakim yang memeriksa perkara
tersebut.
Dengan tidak mengurangi rasa hormat
penulis terhadap seorang Munir Said Thalib yang telah berjuang keras demi tegaknya
pembangunan demokrasi di tanah air ini, semoga tulisan ini dapat
dipertimbangkan. Penulis belum menemukan (secara obyektif) unsur-unsur yang
membuat penulis berpendapat bahwa Pollycarpus telah melakukan tindak pidana
kejahatan terhadap keamanan negara dan kejahatan hak asasi manusia yang berat.
Yang menjadi pekerjaan rumah saat ini
adalah segera membongkar sindikat pembunuhan berencana tersebut dan menyeretnya
ke pengadilan agar segera diputus oleh pengadilan. Hal ini tentunya sejalan
dengan pola pikir yang digunakan oleh almarhum Munir, sebagaimana kampanyenya
mengenai tuduhan penculikan aktivis terhadap Prabowo Subianto. Sekian.
Balikpapan, 8 Desember 2014
Kampus Universitas Balikpapan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar