Pada tanggal
25 Januari 2015 dini hari, 2 orang penghuni Rutan Balikpapan berhasil kabur di
saat para penghuni lainnya sedang tidur. Apapun alasannya, kaburnya penghuni
merupakan hal yang tidak masuk akal. Apabila yang dipublikasikan adalah dengan
merusak bangunan Rutan, tentu yang menjadi kritik adalah “bagaimana dengan
pengamanan Rutan yang seharusnya di wilayah steril itu bersih dari
barang-barang tajam atau berbahaya?”, dan “apakah pelayanan dan pembinaan di
Rutan itu sudah sesuai dengan nafas pemasyarakatan?”, kurang lebih seperti itu.
Tidak harus
adanya penghuni yang kabur, mantan penghuni yang sudah kembali ke masyarakat
pun bila sikapnya masih sama dengan norma pidana yang didakwakan kepadanya,
tentu menjadi kritik tersendiri bagi lingkungan pemasyarakatan tentang “ke mana
nafas pemasyarakatan?”
Terlepas dari
itu, tanggal 26 Januari 2015 terbit pemberitaan di salah satu koran lokal
Balikapapan, di halaman utamanya mengabarkan “Rutan Fokus Kejar Penjahat Kabur”.
Mengenai tulisan ini, saya mencoba fokus ke redaksi pemberitaannya, terkhusus
kata “penjahat”. Ada beberapa hal yang mau saya urai terkait kata “penjahat”
tersebut.
Dari sisi norma
hukum. Dalam peraturan perundang-undangan sudah meninggalkan stigma “penjahat”
terhadap pelaku, hanya perbuatannya saja yang dipertentangkan, seperti “kejahatan”
dan “perbuatan jahat” dan lain sebagainya. Kemudian dalam Undang-Undang Nomor
12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU Pemasyarakatan) tidak ada sama sekali
menyebutkan predikat “jahat” kepada pelakunya, seperti “penjahat”. Bahkan,
orang yang sudah divonis untuk menjalankan pidana pun berubah menjadi “warga
binaan pemasyarakatan” (WBP). Sebenarnya juga, perubahan itu sudah dimulai
sejak tahun 1965 melalui instruksi Presiden untuk melaksanakan pemasyarakatan
sebagaimana yang dicetuskan oleh Sahardjo setahun sebelumnya.
Selanjutnya,
4 tahun setelah UU Pemasyarakatan diundangkan, TAP MPR mengenai Hak Asasi
Manusia pun diundangkan ke dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia. Di situ juga mengatur mengenai hak-hak individu atas perlakuan-perlakuan
yang merugikan dirinya sendiri. Terkait dengan hal ini, Indonesia juga menganut
sistem Standart Minimum Rules untuk
perlakuan yang lebih manusiawi bagi terpidana. Oleh karena itu, di dalam Lapas maupun
Rutan ada tulisan besar dipajang yang kurang lebih bertuliskan “Mereka Bukan
Penjahat, Hanya Tersesat, Belum Terlambat Untuk Bertobat”.
Kemudian dalam
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers, disebutkan bahwa Pers mempunyai
fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Dalam melaksanakan
peranannya, pers memperhatikan hak masyarakat untuk mengetahui; menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan hak
asasi manusia, serta menghormati kebhinekaan; mengembangkan pendapat umum
berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar; melakukan pengawasan,
kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan
umum; memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Dari beberapa
hal yang sudah disebutkan secara ringkas dan sederhana di atas, penggunaan kata
atau gelar “penjahat” terhadap terpidana merupakan hal yang tidak sesuai dengan
norma hukum yang berlaku di Indonesia. Pada sisi lain, akan terbentuk stigma
negatif di kalangan masyarakat terhadap seorang terpidana yang seharusnya disebut
sebagai warga binaan pemasyarakatan sebagai wujud kemanusiaan. Kemudian di sisi
pers, pers sudah tidak melindungi hak asasi manusia sebagai salah satu
peranannya, dan pers telah membunuh karakter dari terpidana akibat predikat “penjahat”
tersebut.
Sungguh suatu
perbuatan yang tidak manusiawi, karena pers ternyata tidak ikut berperan dalam
pembangunan hukum di Indonesia. Di kala pemasyarakatan sedang kesibukan dalam
pembenahan untuk tercapainya nafas pemasyarakatan sebagaimana yang digagas oleh
Sahardjo, pers malah semakin memperparah keadaan. Pemenuhan hak asasi manusia
bukan hanya menjadi tanggung jawab negara atau pemerintah, namun juga menjadi
tanggung jawab seluruh elemen masyarakat termasuk pers.
Semoga hal
ini dapat dijadikan pembelajaran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
baik. Apalagi Indonesia sedang berusaha bangkit dari tarik ulur kepentingan
elit politik yang menjamur di bawah pimpinan SBY.
Sekian.
Sumber:
1. Muh. Khamdan, 2012, Islam dan HAM Narapidana, Kudus, Paradigma Institute;
2. Muh. Khamdan, 2010, Pesantren di Dalam Penjara, Kudus, Paradigma Institute;
3. Cetak Biru Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Sekian.
Sumber:
1. Muh. Khamdan, 2012, Islam dan HAM Narapidana, Kudus, Paradigma Institute;
2. Muh. Khamdan, 2010, Pesantren di Dalam Penjara, Kudus, Paradigma Institute;
3. Cetak Biru Pemasyarakatan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia;
4. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan;
5. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
6. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar