Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Filsafat Hukum (Hukum Alam)

A. Latar Belakang Munculnya Aliran
Seorang filsuf terkemuka dari Yunani, Plato, percaya bahwa alam semesta pada dasarnya rasional. Aristoteles, yang tidak lain adalah murid Plato sendiri, kemudian mengenmbangkan pemikiran tersebut. Aristoteles mengembangkan apa yang kemudian berkembang menjadi versi filosofis teori emanasi kuno tentang kisah penciptaan: ada hierarki eksistensi, masing-masing memberi bentuk dan mengubah yang di bawahnya. Pada puncak hierarki ini terdapat Penggerak yang Tidak Digerakkan, yang oleh Aristoteles diidentifikasikan sebagai Tuhan. Penggerak yang Tidak Digerakkan tersebut mengakibatkan semua gerak dan aktivitas di alam semesta, karena setiap perubahan dapat dilacak kembali kepada sumber yang tunggal.[1]


Pemikiran tersebut diyakini sebagai gagasan hukum alam, meskipun sebelumnya masih ada Thales dan Phytagoras yang mengkaji alam semesta (secara telanjang). Namun oleh masyarakat Yunani klasik, kemudian dikembangkan menjadi suatu konsep yang melekat dalam hukum yang berlaku. Dimana terkait hukum alam, alam yang mulanya memiliki definisi fisik alam semesta, dimasukkan moral sebagai bagian dari pengertian alam itu sendiri.

Sehingga hukum alam dapat berarti fenomena moral dari manusia dan masyarakat yang dapat ditangkap melalui gejala alam fisika, sehingga mereka harus hidup sesuai dengan unsur-unsur dan gejala-gejala moral alam. Oleh karena itu, hukum alam selalu eksis dalam kehidupan hukum dan masyarakat. Selain itu, hal tersebut dikarenakan adanya saling pengertian dan kesadaran dari masing-masing anggota masyarakat.[2]


B. Pokok Pikiran Aliran
Teori hukum alam bisa dibilang sebagai paradigma yang paling tua sekaligus paling besar pengaruhnya bagi perkembangan ilmu hukum sampai hari ini. Menurut Arief Sidharta, hukum alam tampil sebagai suatu hukum dari akal-budi (reason) manusia dan menyalurkan hasrat penyelidikan tentang tindakan kemauan dari seseorang yang menampilkan diri (bertindak) sebagai legislator moral atau hukum.[3]

Hakikat dari aliran hukum alam adalah memandang bahwa alam harus dipelihara oleh manusia untuk mencapai tujuan. Sehubungan dengan adanya hubungan manusia dengan alam, maka tolok ukur dari aliran hukum alam terhadap esensi hukum terletak pada di mana apa yang dipandang sesuai dengan kepentingan alam adalah keadilan. Hakikat ini merupakan aturan semesta yang diciptakan oleh Tuhan, dalam hukum abadinya, sehingga norma-norma dasar pada aliran hukum alam ini bersifat kekal, abadi dan universal.[4]

Dalam sepanjang sejarah hukum, hukum alam dapat dikelompokkan ke dalam 2 kategori, yaitu hukum alam sekuler rasional, dan hukum alam yang berlandaskan kepada agama. Dalam kategori hukum alam sekuler rasional, mendasari diri pada rasional dan nurani manusia (human reason and conscience) tentang apa yang baik dan yang tidak baik, apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Kategori ini sudah ada di zaman Yunani klasik, tepatnya Stoisisme.[5]

Adapun hukum alam yang berlandaskan kepada agama banyak diajarkan dan dipraktikkan di abad pertengahan oleh kaum Katholik, yang paling menonjol adalah ajaran dari Thomas Aquinas. Dimana ia berhasil menyintesiskan antara ajaran-ajaran sekuler dari Socrates, Plato, dan Aristoteles dengan ajaran-ajaran kewahyuan dari agama Kristen Katholik.[6] Thomas Aquinas (1225-1274), yang merupakan profesor Katholik, menyatakan bahwa semua hukum buatan manusia dalam penalarannya memiliki kedudukan sebagai yang diturunkan oleh hukum alam. Jika suatu aspek hukum tidak diturunkan oleh alam, maka hukum tersebut cacat sebagai hukum, hukum tersebut tidak dapat memberikan keadilan dan itu bukanlah hukum. Hukum alam sebagai puncak hierarki hukum abadi, yang mana harus dimaknai sebagai suatu pengaturan rasional atas segala sesuatu di mana Tuhan menjadi penguasa alam semesta.[7]

Kekuatan utama dari aliran ini tidak hanya bertumpu pada nilai moralitas semata, namun juga berorientasi pada pencapaian nilai-nilai keadilan bagi masyarakat. Para pemikirnya berkeyakinan bahwa keadilan merupakan sebuah nilai esensial (essential value) dari hukum, bahkan sering keduanya diidentikkan sebagai sebuah nilai yang tunggal dan menyatu.[8]

Dengan demikian, menurut para pemikir hukum alam, hukum yang berkeadilan dan bermoral adalah sudah selayaknya menjadi kuasa atas negara, hukum negara yang dalam bentuk kaidah-kaidah hukum positif berpotensi untuk merealisasikan cita negara hukum, yaitu apa yang dipersepsikan dan dihayati sebagai hukum yang hidup dan dianut dalam suatu masyarakat tertentu, yang dalam garis besarnya berintikan keadilan, kepastian, ketertiban, prediktabilitas, dan sebagai alat kontrol sosial.[9] Dengan begitu, menurut Thomas Aquinas, hukum itu sebagai suatu gejala objektif di luar manusia yang abstrak. Hukum itu dianggap statis dan kekal, sesuai dengan pandangan statis terhadap manusia.[10]


C. Pengaruh Aliran Hukum Alam Terhadap Hukum di Indonesia
Aliran hukum alam yang telah dikemukakan tersebut kemudian dikembangkan oleh KC Wheare dan H. Hewet dalam kajiannya mengenai konstitusi. Dimana KC Wheare berpendapat bahwa konstitusi mengklaim diri mempunyai otoritas dengan dasar moral. Perihal dipertanyakan mengenai mana yang memiliki kedudukan lebih tinggi antara konstitusi dan moral, KC Wheare menjelaskan bahwa, sepertinya moral mempunyai otoritas untuk memerintah seperti halnya semua hukum dapat memerintah suatu komunitas untuk menaatinya. Singkatnya, secara constitutional philosophy, jika aturan konstitusi bertentangan dengan etika moral, ia dapat disimpangi. Demikian juga dengan H. Hewet yang dalam pendiriannya menyatakan bahwa masih ada hukum yang lebih tinggi di atas konstitusi yaitu moral.[11] Serupa dengan A. Gunawan Setiardja, yang memperkenalkan mengenai daya berlakunya moral, bahwa moral tidak terikat pada waktu tertentu dan juga tidak tergantung pada tempat tertentu.[12]

Dengan perkembangan yang seperti itu, ditambah dengan perkembangan peradaban yang semakin maju, Satjipto Rahardjo mengemukakan Hukum Progresif. Dimana pemikiran Satjipto Rahardjo tersebut diawali dari berfilsafat berpikir “hukum untuk manusia, bukan sebaliknya” merupakan cahaya batin untuk mendobrak hukum yang telah mapan dengan dominasi rezim positivisme hukum. Keyakinan fundamental tersebut dirumuskan sebagai catatan kritis pergulatan manusia dengan hukumnya.[13]

Kendati demikian, bukan berarti hukum progresif, yang merupakan perkembangan dari hukum alam tersebut, merupakan hal baru di Indonesia. Pada tahun 1963, Sahardjo (saat itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman) pada acara peneguhan gelar Honoris Causa di Universitas Indonesia, telah mengemukakan ide tentang pemasyarakatan. Di dalam ide tentang pemasyarakatan tersebut, sekalipun hukuman telah diberikan kepada terpidana, bukan berarti negara semata-mata harus melakukan hukuman, melainkan dengan memberikan pembinaan dan pembimbingan agar terpidana tersebut tidak mengulangi perbuatannya kembali dan ketika bebas dapat langsung ikut membangun bangsa dan negara.[14]

Ide pemasyarakatan tersebut didasari oleh hak asasi manusia, dan tentunya kesadaran mengenai kurang optimalnya tanggungjawab negara dalam mensejahterakan rakyatnya. Di samping itu, negara juga harus memperhatikan hak-hak tiap warganya sebagaimana yang telah diatur dalam konstitusi. Karena konstitusi itu sendiri adalah mengenai hak asasi manusia, yakni hak yang paling hakiki dan melekat dalam diri tiap-tiap manusia meskipun ia masih di dalam kandungan.


D. Kritik Terhadap Aliran Hukum Alam
Terhadap konsep aliran hukum alam ini, telah banyak menuai kritik, antara lain sebagai berikut:[15]
1.         Bahwa konsep hukum alam hanya mungkin ada jika alam semesta ini ada yang menciptakannya. Karena itu, bagi mereka yang berpikiran bahwa alam semesta ini tidak didesain oleh siapa pun (tidak bertuhan), termasuk tidak didesain keteraturannya, maka konsekuensinya hukum alam pun tidak ada.
2.         Bahkan bagi umat beragama pun eksistensi hukum alam tersebut juga bermasalah. Sebab, bagi mereka, kebenaran adalah diukur dengan sabda-sabda Tuhan dalam kitab-kitab suci, bukan diukur dengan ketentuan hukum alam dan logika.
3.         Jika hukum alam adalah moralitas yang objektif yang berlaku di mana saja berlandaskan kepada rasional manusia, tetapi banyak juga moralitas lokal atau moralitas masyarakat tertentu yang mengatur kehidupan manusia yang berbeda dengan moralitas masyarakat lainnya.
4.         Jika teori-teori hukum alam lebih melindungi hak-hak individual, tetapi perlindungan kepada masyarakat secara keseluruhan sering kali bertentangan dengan hak-hak individual tersebut.
5.         Terutama bagi penganut paham positivisme, hukum hanya ada dalam aturan yang dibuat oleh yang berwenang, bukan yang ada dalam moralitas.
6.         Bagi penganut paham sejarah, hukum hanya ada dalam kesadara manusia berdasarkan sejarahnya (sesuai dengan volkgeist/jiwa masyarakat), yang berbeda-beda dari satu masyarakat ke masyarakat lainnya, jadi hukum bukan berasal dari moralitas manusia yang seragam yang berlaku secara universal.
7.         Bagi penganut paham utilitarisme, hukum haruslah yang membawa manfaat yang sebesar-besarnya bagi sebanyak mungkin manusia, bukan hanya sekadar melindungi hak-hak individual segelintir orang saja.
8.         Menurut penganut paham sosiologi hukum, hukum adalah apa yang diinginkan oleh masyarakat yang berdasarkan kepada keinginan masing-masing individu atau keinginan dari masyarakat keseluruhan sebagai sebuah sistem sosial.

Sebagai sebuah konsep besar dalam filsafat dan teori hukum seperti juga dalam filsafat dan teori ilmu-ilmu sosial, wajar saja jika terhadap hukum alam terdapat banyak perbedaan, kesimpangsiuran, dan bahkan pertentangan pendapat dari para ahli dari satu masa ke masa yang lain. Akan tetapi, melihat kepada kenyataan tentang eksistensi hukum alam yang sudah sejak awal peradaban manusia, maka sulit kiranya manusia tiba-tiba membantah eksistensi hukum alam, baik pada saat suatu negara sedang menjungkirbalikkan penafsiran terhadap hukum alam oleh para penguasa tiran bertangan besi yang zalim, maupun juga pada saat negara sedang diperintah secara adil oleh para penguasa yang bijak.[16]




DAFTAR PUSTAKA

A. Gunawan Setiardja, 1990, Dialektika Hukum dan Moral Dalam Pembangunan Masyarakat Indonesia, Yogyakarta, Kanisius
Dahlan Thaib (et.all), 2013, Teori Hukum dan Hukum Konstitusi, Jakarta, Rajagrafindo Persada
Faisal, 2014, Memahami Hukum Progresif, Yogyakarta, Thafamedia
Karen Armstrong, 1993, Sejarah Tuhan: Kisah 4.000 Tahun Pencarian Tuhan Dalam Agama-Agama Manusia, Bandung, Mizan
Muh. Khamdan, 2010, Pesantren di Dalam Penjara, Kudus, Paradigma Institute
Muh. Khamdan, 2012, Islam dan HAM Narapidana, Kudus, Paradigma Institute
Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada
Munir Fuady, 2013, Teori-Teori Besar (Grand Theory) Dalam Hukum, Jakarta, Kencana
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2014, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajagrafindo Persada
Yovita A. Mangesti dan Bernard L. Tanya, 2014, Moralitas Hukum, Bantul, Genta Publishing



Balikpapan, 15 Mei 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar