A.
Latar Belakang
Filsafat merupakan
terjemahan dari istilah “philosophia”,
yang berasal dari bahasa Yunani, yang berarti cinta akan kebijaksanaan (love of wisdom). Hal tersebut dapat
diurai dari asal katanya, yaitu philo
yang artinya “cinta” dan sophia yang
artinya “kebijaksanaan”. Dalam bahasa lain, filsafat dikenal dengan sebutan philosophy di Inggris, philosophie di Prancis dan Belanda, dan falsafah di Arab.[1]
Jika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), filsafat adalah 1) pengetahuan dan penyelidikan dengan akal
budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab, asal, dan hukumnya; 2) teori yang
mendasari alam pikiran atau suatu kegiatan; 3) ilmu yang berintikan logika,
estetika, metafisika, dan epistemology; 4) falsafah.
Filsafat adalah
keseluruhan rangkaian proses yang bermula dari rasa tertarik (heran) dan dipacu
oleh keinginan untuk mengetahui hal yang mengherankan tadi menuju pada penemuan
sementara akan jawaban terhadap hal yang mengherankan tadi. Namun demikian,
tidak berarti tidak akan pernah ada kebenaran yang didambakan dan dicari tadi,
tentu saja ada jawaban yang diklaim dan dianggap benar. Karena jawaban itu akan
selalu dipersoalkan lebih lanjut yang disebabkan oleh filsafat itu sendiri,
maka jawaban atau kebenaran itu hanya bersifat sementara, meskipun filsafat
merupakan selalu berkecenderungan untuk mencari jawaban yang paling mendalam,
paling akhir, yang paling ultime,
yang paling benar. Dengan demikian, filsafat merupakan satu kesatuan asasi yang
tidak bisa dipisahkan. Di satu pihak, filsafat adalah proses pencarian
terus-menerus akan kebenaran yang mengambil bentuk bertanya terus-menerus. Di
lain pihak, filsafat adalah kebenaran atau kearifan yang ditemukan dalam
seluruh proses pencarian tadi. Terhadap dua aspek tersebut, filsafat tidak
sekadar sebuah kebenaran, melainkan adalah sebuah proses mencari kebenaran
sekaligus adalah juga kebenaran yang terus digumuli.[2]
B.
Sejarah dan Perkembangan Filsafat
Terkait dengan
pengertian yang sudah dijabarkan di atas, menarik untuk mengetahui bagaimana
perkembangan dari filsafat itu sendiri, khususnya filsafat barat. Dimulai dari
pemikiran tentang alam yang dipelopori oleh beberapa pemikir seperti Thales
(625-545 SM) yang berpendapat bahwa asal muasal (inti) alam ini adalah air,
kemudian ada Anaximander (610-547 SM) yang berpendapat bahwa inti dari alam
adalah apeiron (suatu zat yang tidak
terbatas sifatnya), dan Anaximanes (585-528 SM) yang berpendapat bahwa alam
berasal dari udara. Dengan adanya perbedaan dari ketiga pemikir tersebut, telah
dapat disimpulkan bahwa kebebasan berpikir telah tumbuh pada masa itu, dan
kebebasan demikian merupakan conditio sie
qua non bagi perkembangan filsafat.[3]
Kemudian pada zaman
keemasan Yunani, terdapat Socrates (470-399 SM), yang berhasil membuat
perkembangan baru dalam dunia filsafat karena kegemarannya untuk hadir dan
aktif dalam perdebatan dengan kaum sofis (seperti Protagoras, Gorgias, dan
Prodikos) yang menyangkal adanya nilai-nilai tetap mengenai baik dan buruk
serta adil dan tidak adil. Dengan bersandarkan pada kegelisahannya terhadap
gejolak sosial akibat pengaruh dari penguasa, Sokrates telah bergeser kepada
pertanyaan tentang bagaimana manusia dapat hidup dengan baik dalam masyarakat
agar tercapai keadilan dan kemakmuran. Oleh karena pandangan kritisnya yang
berdampak pada gerakan masyarakat tersebut, Socrates kemudian menjadi incaran
penguasa dan pemuka masyarakat Yunanai sehingga berujung pada hukuman mati dari
penguasa Yunani kepada Socrates.[4]
Dari pemikiran Socrates,
muncullah Plato (427-347 SM) yang tidak lain adalah muridnya Socrates, meskipun
sebelumnya Plato telah mendalami ajaran pantha
rei dari murid Herakleitos yang bernama Kratylos. Pokok pikiran Plato
adalah budi yang baik. Budi adalah tahu. Orang yang berpengetahuan dengan
sendirinya berbudi baik. Pengetahuan tersebut diperoleh melalui proses
dialektika, yang kemudian menimbulkan tingkat yang lebih tinggi daripada
sekadar pengetahuan, yang disebut budi itu tadi. Dengan demikian, Plato
berpandangan bahwa filsafat merupakan ilmu yang berminat mencapai kebenaran
yang asli. Berbeda dengan muridnya yang bernama Aristoteles (384-322 SM), yang
berpendapat bahwa filsafat merupakan ilmu yang meliputi kebenaran, yang
terkandung di dalamnya ilmu-ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi,
politik, dan estetika.[5]
Kemudian ada ajaran
Stoisisme yang dirintis oleh Zeno (336-264 SM). Stoisisme atau Stoa merupakan
ajaran yang pragmatis, yang pada pokok terpentingnya adalah mengenai etika. Menurut
ajaran Stoa, manusia adalah bagian dari alam, sehingga ia wajib untuk hidup
selaras dengan alam. Sebagai bagian dari zaman Hellenisme, ajaran Epikurisme
yang dirintis oleh Apikuros (341-270 SM), memiliki pandangan yang serupa dengan
Stoa, yakni mengenai etika. Dimana Epikurisme merupakan cara untuk mencapai
kenikmatan hidup manusia (hedone),
dan kenikmatan itu tercapai apabila ada ketenangan batin (ataraxia). Pada zaman Hellenisme juga ada ajaran Neoplatonisme yang
diajarkan oleh Plotinos (203-269 SM) dengan pokok ajaran yang berpangkal pada
konsep kesatuan. Segala sesuatu yang berasal dari Yang Satu dan akan kembali ke
Yang Satu itu pula (bottom-up dan top-down).[6]
Selanjutnya di abad
pertengahan, yang dimulai setelah runtuhnya kerajaan Romawi pada abad ke-5
Masehi. Disebut sebagai abad pertengahan karena zaman ini terletak di
tengah-tengah dua zama, yaitu zaman kuno dan zaman modern. Pada zaman ini,
berkembang periode Skolastik yang sempat dikembangkan awalnya oleh Boethius
(480-524), yaitu masa keemasan agama Kristen. Tidak ada perkembangan yang
berarti dalam dunia filsafat pada masa ini. Hal tersebut dikarenakan oleh
kuatnya dominasi para rohaniawan, sehingga apabila ada yang bertentangan dengan
para rohaniawan akan dipandang sebagai dosa dan harus dimusnahkan. Dengan kata
lain, terjadi pembungkaman yang hebat dalam kebebasan berpikir.[7]
Dominasi kebenaran ala
kaum rohaniawan tersebut mampu bertahan lama hingga ratusan tahun. Bermula dari
perubahan paradigma di bidang astronomi, Nicolaus Copernicus (1473-1543) melakukan
pemberontakan dengan mengembangkan pandangan baru, yaitu heliosentris (berpusat
pada matahari) yang menentang pandangan geosentris (berpusat pada bumi).[8]
Gagasan Nicolaus
Copernicus tersebut dikembangkan kemudian oleh Johannes Keppler (1571-1630) dan
Galileo Galilei (1564-1642). Pada masa inilah yang disebut dengan zaman modern,
dimana filsafat mengalami kelahirannya (Renaissance)
kembali setelah sekian lama dibungkam oleh kaum rohaniawan. Karena gerah dengan
perkembangan teori heliosentris tersebut, pihak gereja kemudian melakukan
penentangan secara terbuka dan membuat Galileo Galilei dihukum mati.[9]
Kematian Galileo
Galilei tersebut menginspirasi Francis Bacon (1561-1626) untuk memperkenalkan
filsafat ilmu. Kemudian dengan logika induktif, Francis Bacon menolak
penggunaan silogisme karena tidak mengajarkan kebenaran-kebenaran baru, tetapi
ia tetap bernilai jika dilihat dari segi pengajaran. Kemudian pada zaman
berikutnya, yaitu zaman Barok (era rasionalisme), terdapat tokoh yang mashyur seperti Rene Descartes alias
Catesius (1569-1650), sehingga ia disebut sebagai Bapak Filsafat Modern.
Menurut Rene Descartes, agar ilmu dapat dipahami secara lebih baik, mutlak
diperlukan suatu metode yang baik. Metode yang dimaksud adalah melalui cara
berpikir yang sungguh-sungguh dengan meragukan segala-galanya, sehingga akan
diperoleh pengertian yang terang dan jelas (clara
et distincta) untuk dijadikan pegangan.
Kemudian masuk ke zaman
Aufklarung, yang biasa disebut
sebagai periode pematangan rasio manusia. Zaman ini menghadirkan tokoh-tokoh
seperti Thomas Hobbes, John Locke, George Berkeley, David Hume, JJ Rousseau,
dan Immanuel Kant. Pada zaman ini, rasio saja dianggap tidak cukup untuk
mencari kebenaran. Karena rasio manusia itu bahkan sama sekali kosong sebelum
diisi oleh pengalaman.
Setelah zaman modern,
pada zaman kontemporer diisi sebagai tempat pematangan lebih lanjut dari
filsafat yang di zaman modern. Pada abad ke-19, dimulai dari aliran positivisme
yang dipengaruhi oleh Auguste Comte. Ia menyatakan bahwa pemikiran manusia
melewati 3 jenjang, yakni teologis, metafisis, dan positif-alamiah. Selain itu,
ada juga aliran marxisme yang dirintis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels,
yang banyak dipengaruhi oleh pemikiran seorang filsuf Jerman bernama GWF Hegel.
Aliran marxisme merupakan aliran yang mengaitkan filsafat dengan ekonomi,
karena manusia memiliki keterkaitan yang erat dengan hubungan-hubungan
kemasyarakatan (homo laborans, homo faber).
Pemikiran Karl Marx ini dikenal dengan Materialisme Historis atau Materialisme
Dialektika, yang muatannya tentang teori pertentangan kelas, sehingga berujung
pada lahirnya komunisme. Selanjutnya di zaman kontemporer pada abad ke-19
ditutup dengan aliran pragmatisme yang dipelopori oleh William James. Ia berpendapat
bahwa sesungguhnya tidak ada kebenaran yang sifatnya umum atau mutlak.
Kebenaran akan selalu dikoreksi oleh pengalaman (empiri) manusia sebagai
kebenaran empirik, dan kadarnya ditentukan oleh seberapa jauh akibat/manfaatnya
bagi manusia.[10]
Selain hal-hal tersebut
di atas, dalam perkembangannya, filsafat juga memiliki aliran-aliran tersendiri
pada masanya masing-masing yang berkembang secara dinamis. Di antaranya adalah
aliran hukum alam, aliran utilistis, aliran hukum murni, aliran historisme,
aliran antropologis, aliran sosiologis, dan aliran realis.
C.
Penutup
Filsafat barat lebih
menitikberatkan ke arah menjawab tantangan alam, sehingga membuat filsafat
barat lebih cenderung bersifat eksploitatif terhadap alam. Hal tersebut
tampaknya didasari oleh idealisme atau cita-cita masyarakat barat yang didasari
oleh ajaran to do is more than important
to be (bertindak adalah lebih penting daripada berada), yakni sebuah sikap
untuk mengisi hidup selalu bertindak dan bekerja setinggi mungkin. Wajar saja
jika di kalangan masyarakat barat lebih mengedepankan hak-hak individu daripada
hak-hak kolektif.[11]
Tampaknya filsafat
barat lebih maju daripada filsafat timur. Hal tersebut dapat dilihat dari
kemajuan-kemajuan teknologi yang selalu dipelopori oleh masyarakat barat,
karena mereka secara gencar berani mengeksploitasi alam, sekalipun akibatnya
kerusakan lingkungan hidup. Berdasarkan kemajuan barat dengan sedikit tampilan
atributnya tersebut di atas, masyarakat barat pun akhirnya mempertanyakan kemajuan-kemajuannya
itu, seperti dengan munculnya problem ekologi, alienasi, instrumentalisasi akal
budi, dan segementasi bidang kehidupan.[12]
Dengan demikian, tidak
berarti filsafat timur lebih terbelakang dalam segala hal dibandingkan filsafat
barat. Selain berpokok pada kehidupan yang bersahaja, filsafat timur juga
mengandung ciri sentral religiositas yang mendalam. Sehingga wajar jika
filsafat timur mengalami kebuntuan dalam menjawab persoalan-persoalan
teknologis yang dikuasai oleh filsafat barat. Filsafat timur semata-mata mau
menyajikan falsafah hidup.[13]
Meskipun demikian,
filsafat barat dan filsafat timur, jika disatukan untuk saling melengkapi,
merupakan kesatuan filsafat yang luar biasa. Filsafat barat dapat belajar dari
instuisi timur mengenai kesatuan dalam kosmos dan mengenai identitas
mikrokosmos dan makrokosmos, sedangkan filsafat timur dapat belajar dari
rasionalisme dan positivisme barat.[14]
Balikpapan, 15 Mei 2015
DAFTAR
PUSTAKA
A. Sonny Keraf, 2014, Filsafat Lingkungan Hidup: Alam Sebagai Sebuah Sistem Kehidupan (bersama
Fritjof Capra), Yogyakarta, Kanisius
Muhamad Erwin, 2013, Filsafat Hukum: Refleksi Kritis Terhadap Hukum, Jakarta,
Rajagrafindo Persada
Teguh Prasetyo dan Abdul Halim Barkatullah, 2014, Filsafat, Teori, dan Ilmu Hukum: Pemikiran
Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat, Jakarta, Rajagrafindo
Persada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar