Pada 2 November 2011 silam telah diundangkan
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2011 tentang Bantuan Hukum. Undang-undang tersebut
dibentuk dengan pertimbangan tanggung jawab Negara terhadap hak konstitusional
setiap orang untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian
hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagai sarana
perlindungan hak asasi manusia, dalam bentuk suatu organisasi bantuan hukum.
Organisasi bantuan hukum (OBH) yang dimaksud
dalam UU 16-2011 dilakukan verifikasi dan akreditasi setiap 3 tahun, melalui
Kementerian Hukum dan HAM. Selain melakukan kegiatan-kegiatan pelayanan bantuan
hukum pada umumnya, OBH dapat melakukan rekrutmen terhadap Advokat, paralegal,
dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.
Ketentuan lebih lanjut dalam syarat dan tata
cara pemberian bantuan hukum berdasarkan UU 16-2011 diatur dalam PP 42-2013.
Dalam Pasal 5 ayat (1) PP 42-2013 disebutkan dengan tegas bahwa “Pemberian
bantuan hukum meliputi masalah hukum keperdataan, masalah hukum pidana, dan
masalah hukum tata usaha negara, baik secara litigasi maupun nonlitigasi”.
Ruang lingkup bantuan hukum tersebut merupakan bantuan hukum yang diberikan
oleh Negara melalui Menteri Hukum dan HAM dan dilaksanakan oleh OBH yang telah
memenuhi persyaratan (lulus verifikasi dan akreditasi per 3 tahun).
Pemberian hukum secara litigasi yang dimaksud di
atas adalah dengan cara pendampingan dan/atau menjalankan kuasa di tingkat
penyidikan, penuntutan, proses pemeriksaan di persidangan. Sedangkan pemberian
bantuan hukum secara nonlitigasi meliputi kegiatan penyuluhan hukum, konsultasi
hukum, investigasi perkara (elektronik dan nonelektronik), penelitian hukum,
mediasi, negosiasi, pemberdayaan masyarakat, pendampingan di luar pengadilan,
dan/atau drafting dokumen hukum.
Pada dasarnya, yang dapat melakukan bantuan
hukum pada lingkup litigasi adalah Advokat yang berada di dalam OBH. Namun
demikian, kekhususan profesi Advokat dalam pemberian bantuan hukum pada tahap
litigasi dapat dikecualikan manakala jumlah advokat yang ada dalam suatu OBH
tidak memadai dengan banyaknya jumlah penerima bantuan hukum.
Secara etika profesi dan tanggung jawabnya,
advokat yang berada di dalam OBH tidak kehilangan kewajibannya dalam memberikan
bantuan hukum secara cuma-cuma (lihat Pasal 22 UU Advokat). Perihal bantuan
hukum secara cuma-cuma tidak terbatas pada OBH yang dimaksud dalam UU 16-2011,
mengingat tidak semua kabupaten/kota memiliki OBH.
Manalaka dalam suatu OBH hanya terdapat 1 orang Advokat
dan perkara yang masuk ke OBH tersebut ada lebih dari 1 perkara sehingga tidak
memungkinkan advokat tersebut untuk melakukan litigasi terhadap lebih dari 1
perkara, maka anggota OBH lainnya dapat menggantikannya. Anggota OBH lainnya
hanya terbatas atas unsur dosen, paralegal, dan mahasiswa fakultas hukum.
Dosen, paralegal, dan mahasiswa fakultas hukum dapat
melakukan kegiatan pendampingan maupun mewakili dengan syarat harus melampirkan
bukti tertulis pendampingan dari Advokat milik OBH. Terkhusus mahasiswa
fakultas hukum, minimal harus telah lulus mata kuliah hukum acara dan pelatihan
paralegal.
Seiring dengan perkembangan pembangunan hukum di
Indonesia, Pemerintah melalui Menteri Hukum dan HAM kemudian membentuk
Permenkumham 1-2018 tentang Paralegal dalam Pemberian Bantuan Hukum. Untuk
diketahui, Permenkumham 1-2018 tersebut merupakan peraturan yang dibentuk
berdasarkan wewenang yang diberikan oleh UU 16-2011 dan PP 42-2013. Jadi,
Permenkumham 1-2018 tidak berdiri sendiri tanpa alas wewenang. Hal tersebut
telah sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan.
Pada tanggal 31 Mei 2018 silam, Mahkamah Agung
memutus perkara Hak Uji Materil (judicial
review) terhadap beberapa ketentuan yang diatur dalam Permenkumham 1-2018
yang dianggap bertentangan dengan UU Advokat yang diajukan oleh beberapa
Advokat. Adapun ketentuan yang dikabulkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan
Nomor 22P/HUM/2018 adalah Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham 1-2018. Norma yang
diatur dalam Pasal 11 dan Pasal 12 Permenkumham 1-2018 adalah mengenai
Paralegal yang terdaftar dalam OBH dalam pemberian bantuan hukum yang ditangani
oleh OBH.
Putusan yang mengabulkan tersebut merupakan
tindakan yang keliru. Di Indonesia menganut asas lex speciali derogate legi generali, dimana peraturan yang lebih
khusus mengenyampingkan peraturan yang lebih umum. Dalam konteks bantuan hukum
yang diselenggarakan oleh Negara merupakan hal yang khusus, oleh karenanya
Negara mengatur dalam UU 16-2011.
Dalam teori perundang-undangan, dikenal 2
landasan dalam pembentukan peraturan, yakni landasan formil dan landasan
materil. Yang dimaksud dengan landasan formil adalah mengenai adanya kewenangan
lembaga atau pejabat dalam membentuk peraturan perundang-undangan, sedangkan
landasan materil adalah mengenai adanya perintah untuk membuat ketentuan lebih
lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Dilihat dari landasan formil, dalam Permenkumham
1-2018 menggunakan UU 39-2008 tentang Kementerian Negara, UU 16-2011 tentang
Bantuan Hukum, dan PP 42-2013 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Bantuan
Hukum dan Penyaluran Dana Bantuan Hukum, Peraturan Presiden Nomor 44-2015
tentang Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Dilihat dari landasan materil, Permenkumham
1-2018 dibentuk berdasarkan perintah Pasal 6 ayat (2) dan ayat (3) huruf a dan
b UU 16-2011, dan Pasal 17 PP 42-2013 bahwa pemberian bantuan hukum harus
memenuhi standar bantuan hukum yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Dilihat dari alur berpikir tersebut, yang juga telah diatur dalam UU 12-2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, maka selayaknya Permenkumham
1-2018 telah memiliki fondasi yang kuat dan disertai dengan asas lex speciali derogate legi generali.
Keterlibatan Paralegal dalam kegiatan litigasi
sebagaimana dimaksud dalam Permenkumham 1-2018 tidaklah seluas profesi Advokat.
Paralegal tunduk dalam kendali Advokat. Paralegal OBH hanya bisa terlibat aktif
dalam proses litigasi manakala ada pendampingan langsung oleh Advokat, dan bisa
tanpa pendapingan Advokat manakala ada surat pemberitahuan secara tertulis dari
Advokat.
Keterlibatan Advokat dalam OBH sangatlah minim,
hal ini yang dirasakan penulis sehingga LKBH Uniba melakukan regenerasi secara
militan, yang dari 2 Advokat kini menjadi 7 Advokat. Harus diakui minim
keterlibatan bisa dilihat dari segi bahwa profesi Advokat merupakan piring nasi
sebagian orang. Di sisi lain, keterlibatan dalam perkara secara cuma-cuma
memang tidak berbanding seimbang dengan perkara profesional dalam hal
penerimaan jasa profesi.
Balikpapan, 18 Juli 2018
dari tulisan ini, bung bisa direkomendasikan utnk mengisi materi Pralegal di JAL.
BalasHapusgimana??? ehhehe....
ayo
BalasHapus