Running Text
Ungkapan Perasaanku
Payah!
Di sela-sela kepenatan dalam menyusun Buku Sejarah gerejaku, handphone-ku berdering di satu malam. Nomor asing, karena tidak tertera nama di layar. Kujawab panggilan itu untuk memenuhi rasa penasaranku akan siapa yang memiliki nomor asing itu. Ohh… ternyata kawan lamaku di bangku SMP. Entah darimana ia dapatkan kontak saya.
Hukum Tata Negara
Hukum Tata Negara
Sumber Hukum Tata Negara
a. Sumber hukum materiil Hukum Tata Negara,
adalah sumber hukum yang menentukan isi kaedah/norma hukum itu sendiri. Satu-satunya sumber hukum materiil Hukum Tata Negara adalah PANCASILA, karena:
o Pancasila sebagai dasar atau pondsi negara;
o Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia;
o Pancasila sebagai pegangan;
o Pancasila sebagai perjuangan hidup;
o Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa Indonesia.
Dasar Ilmu Hukum
1. Subyek hukum adalah segala sesuatu yang mampu melakukan hak dan kewajiban. Ada dua
macam subyek hukum; yakni orang dan badan hukum (berbadan hukum).
a. Badan hukum
Terjadi pemisahan antara aset perusahaan dan aset pemilik perusahaan. Jika terjadi permasalahan hukum atas nama pemilik perusahaan, maka tanggung jawab hanya dibebankan kepada aset pemilik usaha tersebut. Demikian pula sebaliknya.
PT, Yayasan, Koperasi.
b. Berbadan hukum
Bentuk usaha yang menggabungkan antara aset pribadi dan aset perusahaan (pribadi = pemilik perusahaan). Dengan demikian, jika terjadi permasalahan hokum yang disebabkan baik oleh atas nama pemilik maupun atas nama usahanya sendiri, maka pemilik usaha bertanggung jawab sepenuhnya.
CV, UD, Firma.
Hukum Perikatan
1. Prinsip-prinsip umum dalam hukum perikatan
Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” dalam Buku III BW, ialah: “Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. “Perikatan” merupakan pengertian yang abstrak, sedangkan suatu “perjanjian” adalah peristiwa hukum yang kongkrit.
Mengembangkan Wawasan Oikumene
Oikumene berasal dari kata “oikos” (rumah) dan “monos” (satu), yang artinya satu rumah. Orang yang tinggal di rumah kita bisa terdiri dari banyak orang seperti: bapak, ibu, kakak, adik, oppung/opa/oma, keponakan, sepupu, dan yang lainnya. Orang yang tinggal satu rumah tentu hidup rukundan damai walaupun boleh mempunyai perbedaan satu dengan yang lain. Di dalam satu rumah itu ada terdiri dari beberapa kamar yang boleh diurus sendiri oleh penghuni kamar itu tanpa harus mengganggu dan diganggu oleh penghuni kamar lainnya. Tetapi tentu ada batas-batas “kebebasan” mengurus kamar dimaksud sebab ada saatnya sang kepala keluarga memeriksa tiap kamar (apalagi bila ada laporan yang diterima karena ada dugaan ada sesuatu yang tidak beres), mungkin ada yang menyembunyikan narkoba.
Land Reform (Agraria)
Pengantar
Land Reform dalam arti sempit
berupa penaatan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian
pokok dalam konsep reforma agrarian (agrarian
reform, lih. Wiradi 1984). Menurut Cohen (1978), Land Reform adalah: “…. change in land tenure, especially the
distribution of land ownership thereby achieving of objective of more equality”.
Jadi, inti dari kegiatan land reform
adalah redistribusi tanah, sebagai upaya memperbaiki struktur penguasaan dan
pemilikan tanah di tengah masyarakat, sehingga kemajuan ekonomi dapat diraih
dan lebih menjamin keadilan.
Beberapa pihak menginginkan pembaruan agrarian secara revolusioner
(serentak dan menyeluruh), namun pihak yang lain menginginkan pola yang lebih
lunak secara gradual. Selain perihal pilihan tersebut masih banyak pertanyaan
menggantung yang harus dijawab dalam konteks ini, misalnya pembagian peran
pemerintah pusat dan daerah. Menurut Soesangobeng (dalam Sitorus 2002a), bidang yang dapat dipindahkan ke pemerintah
daerah seyogyanya hanyalah dalan “urusan agraria”, yaitu bentuk-bentuk dan cara
mengusahakan atau mengolah unsur-unsur tanah, seperti usaha pertanian,
kehutanan, pertambangan, dan perkebunan. Sementara, soal hak kepemilikan tanah
yang mencerminkan makna tanah sebagai simbol kesatuan bangsa dan negara tidak
dapat didelegasikan ataupun diserahkan menjadi urusan daerah. Artinya, land reform berupa penataan ulang
pemilikan dan penguasaan, biarlah tetap menjadi wewenang pusat, namun
aspek-aspek land tenure dapat
diterapkan oleh daerah mulai sekarang.
Secara umum, menurut Wiwin Hartini (dalam Pelaksanaan Redistribusi Tanah Objek Landreform di Kabupaten Brebes), Land Reform adalah perombakan mengenai
pemilikan dan penggunaan tanah serta hubungan-hubungan yang bersangkutan dengan
penguasaan Tanah Objek Landreform dilakukan sebagai usaha restrukturisasi
penguasaan Hak Atas Tanah yaitu demi terjaminnya kesejahteraan dan rasa
keadilan para anggota masyarakat, khususnya para petani. Adapun salah satu
program atau kinerja Landreform adalah Redistribusi Tanah Objek Landreform,
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 yaitu “Tentang pembagian
tanah dan pemberian ganti rugi, yang mana kegiatan pembagian tanah yang berasal
dari pihak-pihak yang akan ditegaskan menjadi objek Pengaturan Penguasaan Tanah
(PPT) yang kemudian akan diberikan kepada para petani yang membutuhkan agar
supaya para petani tersebut dapat meningkatkan produktifitas tanahnya dan bisa
mengembangkan usahanya.
Pembahasan
Pemberian jaminan kepastian hukum di bidang
pertanahan, pertama-tama memerlukan perangkat hukum yang tertulis lengkap dan
jelas, yang dilakukan secara konsisten sesuai dengan jiwa dan isi ketentuannya.
Pada pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi” Bumi dan air dan
kekayaan lain yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sehubungan dengan hal-hal tersebut
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
dalam pasal 2 ayat (1,2,3,4), ayat (1) memberikan wewenang untuk mengatur dan
menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi dari
rung angkasa tersebut. Ayat (2)digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat dalam arti kebahagiaan, kesejahteraan dan kemerdekaan dalam masyarakat
dan negara hukum Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat adil dan makmur.
Ayat (3) wewenang yang bersumber pada hak menguasai dari negara tersebut. Ayat
(4) hak menguasai pada negara tersebut diatas pelaksanaannya dapat dikuasakan kepada
daerah-daerah swasta dan masyarakat-masyarakat hukum adat sekedar diperlukan
dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, menurut ketentuan-ketentuan
peraturan pemerintah.
Dalam pasal 7 Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun 1960 ditulis “Untuk tidak merugikan kepentingan umum maka
pemilikan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan begitu juga
dalam pasal 17 yang mana ayat (1) berbunyi “Dengan mengingat pasal 7 maka untuk
mencapai tujuan yang dimaksud dalam pasal 2 ayat 3 diatur luas maksimum dan
atau minimum tanah yang boleh dipunyai dengan sesuatu hak tersebut dalam pasal
16 oleh suatu keluarga atau badan hukum, ayat (2) penetapan batas maksimum
termasuk dalam ayat (1) pasal ini dilakukan dengan peraturan perundangan didalam
waktu yang singkat, ayat (3) tanah-tanah yang merupakan kelebihan dari batas
maksimum termasuk dalam ayat (2) pasal ini diambil oleh pemerintah dengan ganti
kerugian untuk selanjutnya dibagikan kepada rakyat yang membutuhkan menurut ketentuan-ketentuan
dalam peraturan pemerintah, ayat (4) tercapainya batas minimum termasuk dalam
ayat (1) pasal ini yang akan ditetapkan dengan peraturan perundang- Undangan.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun
1961 Jo.No.41. Tahun 1964 “Tanah-tanah yang selebihnya dari maksimum diambil
oleh pemerintah untuk kemudian dibagi-bagikan kepada rakyat yang membutuhkan,
kepada bekas pemiliknya diberikan ganti kerugian. Pasal 5 menyatakan bahwa
soal-soal tersebut dan hal-hal yang bersangkutan dengan itu akan diatur lebih
lanjut dengan Peraturan Pemerintah sesuai dengan ketentuan pasal 17 ayat (3)
Undang-Undang Pokok Agraria.
Tanah-tanah yang diredistribusikan itu tidak
terbatas pada tanah-tanah yang selebihnya dari batas maksimum yang diambil oleh
pemerintah karena pemiliknya absentee, tanah-tanah swapraja dan bekas swapraja,
demikian juga tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara yang akan
ditegaskan lebih lanjut oleh Menteri Agraria.
Adapun tujuan dari pelaksanaan Redistribusi
Tanah Objek Land Reform adalah sebagai berikut:
- Untuk menertibkan kedudukan hukum dari pada tanah-tanah yang dikerjakan atau di usahakan baik oleh para petani, Badan usaha, perusahaan-perusahaan maupun oleh pemerintah itu sendiri sesuai dengan pertimbangan-pertimbangan keadilan kemanusiaan dan sosial ekonomi.
- Membantu para petani penggarap atau buruh tani untuk mendapatkan Hak Milik Atas Tanah dan Tanda Bukti Hak yang berupa sertifikat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.
- Tujuan utama dari Redistribusi Tanah Objek Land Reform adalah untuk memperbaiki keadaan sosial petani dengan cara mengadakan pembagian tanah yang adil dan merata atas sumber kehidupan masyarakat petani berupa tanah melalui pemberian Hak Milik Atas Tanah pertanian, sehingga diharapkan dengan pembagian tanah tersebut dapat dicapai kesejahteraan yang adil dan merata
- pemantapan stabilitas dinamis penguasaan dan penggunaan Tanah Objek Land Reform.
Adapun sasaran dari redistribusi tanah yaitu
membagi-bagikan kembali (Redisribusi) Tanah Objek Land Reform, selanjutnya
diberikan Hak Milik, yang kesemuanya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan
dana taraf hidup petani penggarap Tanah Objek Land Reform dengan harapan
terwujudnya kepastian hukum dan kepastian Hak Atas Tanah bagi penerima
redistribusi. Objek pada pelaksanaan kegiatan Redistribusi Tanah Objek
Landreform adalah tanah-tanah yang berasal dari kelebihan batas maksimum dan
tanah absentee serta tanah swapraja dan tanah bekas swapraja yang beralih
kepada negara dan tanah-tanah lain yang langsung dikuasai oleh negara.
Adapun pentingnya batas maksimum penguasaan
bidang tanah ditentukan berdasarkan faktor-faktor antara lain jumlah
tanah-tanah yang tersedia, kepadatan penduduk, hubungan jenis dan kesuburan
tanah di tiap-tiap kabupaten, seperti sawah dan tanah kering, batas luas
maksimum yang ditetapkan oleh Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 dapat dilihat
dalam tabel.
Tabel batas maksimum
kepemilikan tanah
Golongan
Kepadatan
|
Penduduk
per km2
|
Batasan
Maksimum yang dapat Dikuasai
|
||
Sawah
(ha)
|
Tanah
(ha)
|
|||
Sangat
Padat
|
401
ke atas
|
5
|
6
|
|
Cukup
Padat
|
251-400
|
7,5
|
9
|
|
Kurang
Padat
|
51-250
|
10
|
12
|
|
Tidak
Padat
|
sampai
dengan 50
|
15
|
20
|
|
Penataan tanah ditentukan oleh dua faktor
pokok, yaitu bagaimana struktur penguasaan dan bagaimana juga struktur
penggunaan tanah. Pihak yang memiliki hak menguasai akan memiliki kuasa pula
untuk menggunakannya sesuai dengan kepentingannya. Meskipun tidak didukung oleh
program land reform yang sistematis
dan komprehensif, namun berbagai faktor seperti peningkatan penduduk, ketersediaan
modal dan teknologi pertanian, pengembangan prasarana, dan lain-lain telah
membentuk suatu struktur penggunaan dan penguasaan tanah di Indonesia yang
berubah secara dinamis dari waktu ke waktu.
Secara teoritis, dapat dibuat tiga tipe
struktur agraria di dunia, yaitu: (1) tipe kapitalis, dimana tanah dikuasai para
pemilik besar semisal swasta; (2) tipe sosialis, dimana negara menguasai tanah
secara terpusat; (3) tipe populis, dimana masyarakat memiliki hak menguasai
tanah-tanah secara privat dan kolektif. Di Indonesia, baik swasta, negara dan
masyarakat diberi hak untuk dapat menguasai tanah. Permasalahannya adalah tidak
cukupnya tanah yang dikuasai masyarakat secara privat, sedangkan pihak swasta
dan negara dikritik karena menguasai tanah secara lebih luas. Semakin sempitnya
tanah yang dikuasai measyarakat, khususnya petani, selain karena permasalahan
internal dalam masyarakat itu sendiri, adalah karena tingginya tarikan swasta
dalam mekanisme pasar berupa alih fungsi lahan, dan kewenangan negara yang
besar dan sepihak dengan mekanisme hukum formal. Dengan kata lain, “otoritas”
petani terhadap tanah lemah dalam berhadapan dengan swasta dan pemerintah.
Dalam konteks ini, maka Land Reform
merupakan kebijakan yang sangat solutif, karena member otoritas formal kepada
masyarakat untuk dapat menguasai tanah secara layak dari sisi ekonomi.
Pelaksanaan Land Reform di
Indonesia
Pelaksanaan Land Reform di Indonesia pernah diimplementasikan dalam kurun waktu
1961 sampai 1965, namun kurang berhasil (Rajagukguk 1995). Landasan hukum
pelaksanaan Land Reform di Indonesia
adalah Undang-Undang Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960, yaitu Pasal 7 dan 17
untuk sumber pengaturan pembatasan luas tanah maksimum, Pasal 10 tentang
larangan tanah absentee, dan Pasal 53
yang mengatur hak-hak sementara atas tanah pertanian. Produk hukum yang secara
lebih tajam lagi dalam konteks ini adalah Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960
tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, serta Peraturan Pemerintah Nomor 224
tahun 1961 dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964 tentang Pembagian Tanah
dan Pemberian Ganti Rugi.
Saat program Land Reform tersebut diluncurkan, kondisi politik di Indonesia
sedang labil. Pada masa itu dikenal pendekatan “politik sebagai panglima”,
dimana setiap kebijakan pemerintah dimaknai dalam konteks politik. Partai
Komunis Indonesia (PKI) kemudian menjadikan Land
Reform sebagai alat yang ampuh untuk memikat simpatisan, dan diklaim
sebagai alat perjuangan partai mereka dengan menjanjikan tanah sebagai faktor
penarik dalam perekrutan anggota.
Program Land
Reform hanya berjalan efektif hingga tahun 1965. Namun demikian,
pemerintahan Orde Baru yang berkuasa berikutnya mengklaim bahwa Land Reform tetap dilaksanakan meskipun
terbatas untuk menghindari kerawanan sosial politik yang besar. Peningkatan
akses petani kepada tanah dilakukan melalui kebijakan berupa penyeimbangan
penyebaran penduduk dengan luas tanah, dengan cara memindahkan penduduk ke
daerah-daerah yang luas melalui transmigrasi. Program ini kemudian dibarengi
dengan program pengembangan Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Luas tanah yang
diberikan kepada transmigran dan petani plasma mengikuti ketentuan batas
minimum penguasaan, yaitu 2 hektar lahan garapan per keluarga.
Lemahnya Keinginan Elit Politik dan Kapasitas Pemerintah Lokal
Kunci pokok pelaksanaan Land Reform ada pada pelaku politik. Seperti yang dikatakan
Walinsky (1997; dalam Abdurrahman, 2004): “The
key to who makes agrarian reform, and to what determines whether an attempted reform
will be successful is political. Technical expertise in preparing and
administering the necessary legislation in indispen-sible but experts do not
make reform. Politician and only politicians, make good or poor reform or do
not make them at all”.
Kesadaran dan kemauan pihak politisi dapat
ditelusuri dari produk kebijakan yang mereka hasilkan. Dengan didasari Keppres
Nomor 131 Tahun 1961 yang kemudian disempurnakan dalam Keppres Nomor 263 Tahun
1964, dibentuk Panitia Land Reform di
Indonesia mulai dari tingkat propinsi, kabupaten, sampai kecamatan dan desa.
Namun kemudian keluar Keppres Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata
Kerja Penyelenggaraan Land Reform, dimana panitia yang telah dibentuk
dibubarkan dan dialihkan wewenangnya kepada jajaran birokrasi Departemen Dalam
Negeri. Semakin jelas dari kebijakan ini, bahwa Land Reform dianggap sebagai pekerjaan rutin belaka oleh
pemerintah, namun akses masyarakat dan swasta untuk terlibat kurang jelas
posisi dan perannya.
Dalam konteks otonomi daerah, dimana
pemerintahan daerah semakin diperkuat, namun aspek Land Reform secara umum masih menjadi kewenangan pusat. Ironisnya,
pemerintah lokal yang lebih berpihak kepada investor swasta, cenderung menjadi
makelar untuk penyediaan tanah bagi mereka. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, telah diberikan kewenangan yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada daerah secara proporsional.
Kewenangan daerah Kabupaten/Kota meliputi:
(1)
Pemberian izin lokasi, pengaturan persediaan
dan peruntukan tanah;
(2) Penyelesaian masalah sengketa tanah garapan di atas tanah negara;
(3) Penguasaan pendudukan tanah tanpa izin dari pihak yang berwenang oleh
pihak yang tidak berhak/kuasanya;
(4) Penyelesaian ganti rugi dan santunan dalam pengadaan tanah;
(5) Penyelesaian dan penetapan hak ulayat masyarakat hukum adat;
(6) Penertiban dan pendayagunaan tanah terlantar;
(7) Penyelesaian dan pemanfaatan sementara tanah kosong;
(8) Pengaturan tanah reklamasi dan tanah timbul;
(9) Rekomendasi subyek, obyek, redistribusi tanah obyek Land Reform;
(10) Penetapan penyelenggaraan bagi hasil (tanah pertanian); dan
(11) Penetapan harga dasar tanah; dan penetapan kawasan siap bangun.
Kesimpulan
Dari paparan yang ada, kondisi yang dihadapi
untuk mengimplementasikan program Land
Reform di Indonesia sangat berat, dalam kondisi ekonomi dan politik yang
belum mapan, setelah beberapa tahun dilanda krisis multidimensi. Beratnya
permasalahan yang ditanggung bahkan sudah terasa semenjak tataran wacana, yang
masih merupakan langkah awal ke tahap perencanaan. Namun demikian, beberapa
tahun ini, khususnya semenjak kejatuhan pemerintahan Orde Baru, telah Nampak
kegairahan yang besar pada sebagian pihak dalam membicarakan tentang performa
agraria dan Land Reform secara
terbuka.
Memasuki abad ke-21 ini, dukungan
internasional dan lembaga-lembaga donor dapat dikatakan negatif terhadap ide
performa agraria. Ditambah dengan kondisi politik dan keuangan dalam negeri
yang masih sulit, maka wajar kalau kalanga elit politik menjadi tidak berani
dalam memperjuangkan kebijakan ini. Peluang Land
Reform semakin kecil jika diingat, bahwa sesungguhnya belum tumbuh
kesadaran yang kuat pada golongan elit, bahkan masyarakat, bahwa segala
permasalahan pembangunan pertanian dan pedesaan yang kita hadapi sekarang ini
dapat diselesaikan secara mendasar, yaitu melalui perbaikan struktur penguasaan
dan pemilikan tanah pertanian.
Meskipun demikian, salah satu peluang yang
lebih realistis adalah melaksanakan program Land
Reform secara terbatas, yaitu untuk wilayah-wilayah yang tekanan penduduk
dan konflik pertanahannya masih ringan, terutama di luar pulau jawa. Ide ini
dapat menjadi satu point yang sangat
menarik, karena dengan segera permasalahan yang dihadapi ini, berpikir untuk
melakukan reforma agraria secara serentak dan menyeluruh dapat dikatakan hampir
mustahil.
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka
program Land Reform harus
dilaksanakan dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain.
Redistribusi lahan di suatu wilayah akan meningkatkan kesejahteraan jika
disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur, bentuk-bentuk usaha yang akan
dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan kepada usaha tani, serta
teknologi dan pasar. Pelaksanaan Land
Reform yang terlepas dari konteks pembaruan agraria hanya akan menghasilkan
anarki, konflik, penelantaran tanah dan maraknya jual beli lahan yang bisa saja
memperparah ketimpangan. Karena itu, jika suatu wilayah akan menjalankan Land Reform maka semua pihak harus
mendukung dan siap dengan kebijakan dan peranannya masing-masing.
Daftar Pustaka
Ø Forum Penelitian Agro Ekonomi, Vol. 22 Nomor 2, Desember 2004.
Ø Kendala Pelaksanaan Land Reform
di Indonesia oleh Syahyuti.
Ø Abdurrahman, H. 2004. Tantangan Pelaksanaan Landreform dalam Konteks
Otonomi Daerah. Seminar Nasional Pembaruan Agraria untuk Kesejahteraan Rakyat.
BPN, HKTI Dan Chatolic Relief Services, Jakarta 24-25 Agustus 2004.
Ø Cohen, Sulaiman I. 1978. Agrarian Structures and Agrarian Reform:
Exercise in Development Theory and Policy. Martinus Nijhoff Social Sciences
Division, Leiden and Boston, USA.
Ø Kepala BPN. 2001. Pertanahan Indonesia: Suatu Restropeksi. Menteri Dalam
Negeri dan Otonomi Daerah selaku Kepala BPN, Jakarta.
Ø Land Reform: Sejarah dari masa ke masa.
Ø Wiwin Hartini. 2005. Dalam Tugas Akhir: Pelaksanaan Redistribusi Tanah
Obyek Land Reform di Kabupaten Brebes.
Tugas Hukum Agraria
Hukum Agraria
Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan, yang terdiri dari beraneka ragam suku, adat, dan tradisi. Penggunaan maupun pemanfaatan tanah oleh warga negara Indonesia menjadi berbeda-beda. Oleh karena Indonesia adalah negara hukum, maka penggunaan tanah di Indonesia haruslah tidak mengganggu warga negara yang lainnya. Adapun dalam hal ini, pemerintah hanya menguasai (mengatur, menertibkan, dan mengawas/fungsi kontrol). Dan hanya Warga Negara Indonesia saja yang dapat memiliki tanah di Indonesia.
Ketenagakerjaan
Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
Pekerja/buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemberi kerja adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Selebaran
Seluruh bangsa yang menjadi penghuni jagat raya nan elok ini mengetahui, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi. Kemudian para wisatawan-wisatawan yang sudah melakukan kunjungan ke negeri ini pun sudah menikmati keindahan dari keanekaragaman yang kita miliki, mereka salut dan kita bangga. Namun ketika kesenian Reog Ponorogo yang sudah dikenal sejak zaman penjajahan diklaim oleh bangsa lain sebagai kesenian khas bangsanya, haruskah bangsa Indonesia legowo atas klaim tersebut??
Langganan:
Postingan (Atom)