Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, “gerak”
memiliki arti peralihan tempat atau kedudukan, baik hanya sekali atau
berkali-kali. Jika ditambahkan “an” yang menjadi “gerakan” maka akan memiliki
makna suatu perbuatan atau keadaan yang bergerak. Gerakan pada saat ini dapat
diartikan sebagai sebuah wadah yang hakekatnya melakukan perbuatan-perbuatan
untuk mencapai tujuan sebagaimana yang telah disepakati atau ditentukan
bersama.
Dalam hal bernegara, kaum gerakan berada pada
posisi sayap yang kerap menusuk tajam ke jantung ketika terdapat celah-celah
yang sekiranya memang harus dihujam dengan tusukan. Yang artinya, posisi
gerakan dapat dikatakan sebagai balancing dalam roda gerak pemerintahan, dalam
bahasa kekinian disebut sebagai kontrol sosial dalam pemenuhan tuntutan negara
berdemokrasi.
Baiknya untuk tidak melupakan sejarah, atau dalam
istilah kawan-kawan gerakan disebut dengan “jas merah” (jangan sekali-kali
melupakan sejarah). Terdapat nama Sutomo dan Gunawan Mangunkusumo beserta kawan-kawannya
ketika mendirikan Budi Utomo pada 20 Mei 1908 mereka semua berusia 20-25
tahunan. Tokoh Serikat Islam yang terkenal yaitu HOS Tjokroaminoto ketika
memimpin organisasi tersebut berusia 25 tahun. Dalam tercetusnya Sumpah Pemuda,
yang hakekatnya harus dijadikan dasar pergerakan kaum muda, para pemuda dari
berbagai daerah bersatu padu dalam kejadian tersebut, di situ ada Jong Java, Jong Ambon, Jong Soematranen Bond,
Jong Bataks Bond, Jong Islamieten Bond, Pemoeda Indonesia, Jong Celebes, Pemoeda
Kaoem Betawi, dan masih banyak lagi. Yang kemudian menghasilkan tiga poin
yang berisikan satu kesatuan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Lalu, dalam perjalanan berikutnya, adanya campur
tangan pemuda dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Di sebelum masa itu hingga
masa proklamasi, dimana tampak perjuangan-perjuangan dari Heiho, Angkatan Muda Indonesia (AMI) yang awalnya dibentuk oleh
Jepang dan kemudian menjadi anti Jepang,
Pembela Tanah Air (PETA) atas usulan Gatot Mangkupraja, dan lain sebagainya yang kesemuanya adalah mayoritas pemuda. Dan
jelaslah, pemuda memiliki kekuatan tersendiri, yang seharusnya menjadi kekuatan
yang tak terpisahkan.
Dan masih hangat, sekitar 15 tahun yang lalu,
tepatnya tahun 1997-1998, dimana pemuda yang tergabung dalam berbagai
organisasi-organisasi kemahasiswaan intra maupun ekstra kampus yang bersekutu
dalam mendorong terlaksananya reformasi di negeri ini. Meskipun dalam konteks
pemikiran progresif, gerakan terebut dapat dikatakan gagal karena tidanya
pengawalan intensif dan ketat pada proses pelaksanaan reformasi. Dan tidak
dapat dipungkiri, bahwa ada beberapa dan bahkan lebih banyak dari penggerak
reformasi tersebut yang kini masuk ke dalam legislatif maupun eksekutif, dan
mereka gagal dalam pelaksanaan cita-cita reformasi. Secara singkatnya, saya
hendak mengajak untuk memfokuskan kepada sebuah konsensus bahwa peran pemuda
adalah hal yang kritis dan memang harus dilakukan secara kontinuitas. Tidak
hanya sebatas di ruangnya yang tersekat, bahkan harus dapat menembus sekat yang
ada, sehingga peran pemuda tidak sektoral. Sebagaimana yang pernah diucapkan
oleh Bung Karno: “Beri aku seribu orang, dan dengan mereka aku akan
menggerakkan Gunung Semeru! Beri aku sepuluh pemuda yang membara cintanya
kepada Tanah Air, dan aku akan mengguncang dunia”.
Kita kerucutkan ke dalam ruang gerak pemuda dalam
ber-gerakan pemuda di GPIB. Dimana
dalam GPIB terdapat kaum muda dalam wadah Pelkat Gerakan Pemuda yang sebagai
pilar-pilar gereja, dan tentunya sebagai barisan berikut dalam mengisi muatan kebijakan-kebijakan
jemaat (majelis jemaat). Dan kembali, baiknya untuk terus memegang jas merah, bahwa dalam keorganisasian
GPIB, Gerakan Pemuda adalah sebagai kawah candradimuka sehingga munculnya
Pelayanan Kategorial. Artinya, pemuda menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam
sebuah kekuatan organisasi atau persekutuan GPIB.
Gerakan Pemuda memiliki visi yakni “Pemuda yang
Misioner”, yang artinya bahwa di
sini pemuda dibangun dan terus bertumbuh dalam iman, dewasa dalam iman,
kehidupannya adalah teladan serta memberi kontribusi nyata bagi kemajuan
gereja, masyarakat dan bangsa Indonesia dalam suatu semangat oikumenis dan
nasionalis. Jika disimak, tiada penempatan kata “atau” di situ. Tentu
kita dapat simpulkan bahwa konsensus itu bukan sebuah pilihan, melainkan urutan
sederhana namun tidak dapat dipisahkan. Di sisi input terdapat pertumbuhan iman
dan kedewasaan iman, dan outputnya adalah dampak yang diperuntukkan bagi
gereja-masyarakat-bangsa Indonesia. Hal tersebut tentunya sejalan dengan apa
yang telah dituliskan dalam Matius 22: 38. Dan tentunya masih banyak lagi
ayat-ayat atau kalimat-kalimat atau pasal-pasal di dalam Alkitab yang dapat
dikatakan atau dikategorikan sebagai turunan dari perikop bacaan tersebut. Tapi
saya (dengan jujur) hanya bisa berkonteks atau mengkontekskan teks, karena
(penafsiran saya) lebih indah/kongkret memahami daripada menghafal teks yang
membuat diri menjadi terkotakkan karena teks tersebut.
Hari ini, negara (masih) belum mampu melaksanakan
dengan baik perintah dari Pancasila (yang keseluruhan ini tiada bertentangan
dengan Firman Tuhan, dan tentunya sesuai dengan Firman Tuhan). Tapi pada hari
ini juga, pemuda masih bertahan dengan kebutuhan pragmatik, demi materil hari
tua. Namun pada cerita (semoga benar) salah seorang murid Yesus yang hendak
mengikuti Yesus, ia dilarang berpamitan kepada orang tuanya (ambil esensinya
mengenai hasil mengikut Yesus).
Hari ini pula, pemuda masih acuh tak acuh terhadap
para kontrol sosial (demonstran/mahasiswa) atau para parlemen jalanan yang
nampak kumuh yang terus berjuang mempertahankan Pancasila maupun hak asasi.
Seandainya tak ada mereka (parlemen jalanan/kontrol sosial), tak mungkin kita
rasakan kesejukan hawa demokrasi di negara ini hingga detik ini. Bahkan
mungkin, pemuda mengutuk tindakan-tindakan rusuh para demonstran karena
dianggap mengganggu aktivitas perekonomian. Namun ada satu pernyataan dari kaum
gerakan: “ketika protes rakyat terus menerus tidak didengar/direspon, maka akan
melahirkan 2 hal, yang pertama rakyat akan mati (bunuh diri), atau rakyat
berontak runtuhkan penguasa (amuk)”. Pemuda, akan kah tetap bertahan menonton?
Atau merasa nyaman dengan posisi sebagai tamu di negara sendiri?
Masih di hari ini, pembangunan gereja-gereja masih
mengalami penolakan/perlawanan, keberadaan negara dipertanyakan. Di hari ini
pula pemuda mengumpat saudara yang berbeda agama, yang menolak/melarang
pembangunan gereja. Hari ini pun, kita masih mengumpat kepada orang yang
kembali mempertanyakan konsistensi sifat keesaan ilahi terhadap apa yang dianut
Kristen (trinitas). Tapi di balik itu, kita tetap berjalan tegak dengan
santainya di hadapan mereka-mereka yang kesusahan. Dari kedua itu, tampak
cerminan pemuja simbol. Maka tak perlu dipertanyakan tentang pergunjingan
perbedaan pemahaman antara suni dan syiah di negeri ini. Atau, tak perlu pula
dipertanyakan tentang mulai berkembangnya paham trans-nasional (gagasan penegak
khilafah yang anti demokrasi) yang mengancam keutuhan Pancasila. Masih kembali
ke hal yang sama, pemuja simbol (keidentikkan).
Masih ingin tetap bertahan di dalam tempurung
laksana katak yang bermimpi besar bahwa ia dapat menguasai dunia dari dalam
tempurung? Kapan pemuda harus mengambil sikap dari setiap
kegelisahan-kegelisahan atau keresahan-keresahan yang pada hakekatnya sudah
sangat terasa? Pemuda gereja Balikpapan, di mana dirimu?
::terbit di ANJAT edisi September 2013::
::Mangara Maidlando Gultom (Ara)::
penggiat perwujudan akses atas keadilan di
Balikpapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar