Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Polemik Pilkada


Pemerintahan Negara menurut UUD NRI 1945
Indonesia menganut sistem checks and balances dalam sistem pembagian kekuasaannya, yang artinya diperlukannya fungsi mengontrol dan menyeimbangi dari berbagai kekuasaan negara yang diberlakukan. Di Indonesia memberlakukan 3 kekuasaan negara yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan kekuasaan yudisial. Ketiga kekuasaan tersebut berdiri sejajar dan seimbang dalam melaksanakan tugasnya. Pada kekuasaan eksekutif berfungsi sebagai corong pemerintahan dan negara, selain itu juga sebagai garda pelayanan terhadap rakyat. Kemudian pada kekuasaan legislatif memiliki fungsi pengawasan terhadap eksekutif, mengesahkan anggaran negara, dan pembuatan regulasi (undang-undang). Sedangkan pada kekuasaan yudisial, sebagai penjaga konstitusi, penyelaras peraturan perundang-undangan berdasarkan kearifan hakim terhadap perkembangan peradaban kebangsaan.


Mengenai pemerintahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut dengan UUD NRI 1945) bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Kemudian secara komprehensif dalam Pasal 17 UUD NRI 1945 mengatur bahwa Presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, setiap menteri membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan, dan pembentukan, pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Dan lembaga negara yang menerima usulan pengangkatan kepala daerah adalah Kementerian Dalam Negeri melalui Menteri Dalam Negeri.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UUD NRI 1945 mengatur bahwa pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Bahwa asas otonomi itu sendiri menurut UU Pemerintahan Daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan “Tugas Pembantuan” merupakan penugasan dari Pemerintah kepada daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu.

Dalam hal urusan pemerintahan, yang menjadi urusan pemerintah pusat meliputi politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal nasional, dan agama. Di luar dari urusan-urusan tersebut, merupakan urusan pemerintah daerah. Mengingat negara Indonesia merupakan negara kesatuan, yang memiliki luas wilayah dan demi efektivitas pelayanan kepada rakyat, maka urusan pemerintah pusat tersebut di atas dapat dilimpahkan sebagian kepada wakil pemerintah (gubernur) atau dapat juga menugaskan kepada kepala pemerintahan daerah. Dengan kata lain, jabatan gubernur merupakan perpanjangan tangan (yang resmi) dari pemerintah pusat. Sedangkan jabatan walikota/bupati merupakan pemegang pelaksanaan otonomi yang murni.

Sebagaimana konsep checks and balances, dalam otonomi daerah berlaku pengawasan terhadap eksekutif (kepala daerah) oleh DPRD dengan menggunakan hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat, dan meminta laporan pertanggungjawaban penyelenggaraan pemerintah daerah (oleh gubernur, walikota, bupati). Jadi, checks and balances tidak hanya berlaku pada tingkat nasional, pun berlaku di tatanan otonomi daerah.

Dengan kata lain, keberadaan kepala daerah merupakan kekuasaan tersendiri yang sejajar dengan legislatif, bukan merupakan produk legislatif. Karena jika kepala daerah merupakan produk legislatif, maka kekuasaan legislatif di suatu daerah menjadi bercabang. Dan akibatnya, lembaga legislatif di daerah tidak mengontrol kepala daerah, melainkan merupakan atasan dari kepala daerah. Sebagai konsekuensi logis penggunaan intepretasi gramatikalnya, jabatan gubernur-walikota-bupati bukanlah “kepala daerah” atau pemimpin daerah.



Dinamika Pemilihan Kepala Daerah

UUD NRI 1945 mengatur bahwa pemilihan kepala daerah diselenggarakan dengan cara demokratis. Cara demokratis memberikan kesempatan kepada pembuat undang-undang (DPR) untuk memilih konsep mana yang dianggap perlu diberlakukan. Pilihan konsep itu adalah melalui pemilihan umum dan dipilih oleh wakil rakyat (DPRD). Konsep pemilihan umum bersandarkan kepada kebebasan warga di daerah untuk menentukan siapa calon yang pantas memimpin, yang penentuannya didasarkan pada jumlah hasil suara. Sedangkan konsep dipilih oleh DPRD bersandarkan pada memberikan kebebasan kepada DPRD untuk memilih kepala daerah.

Semenjak perubahan UUD 1945, konsep pemilihan umum yang digunakan adalah pemilihan langsung oleh rakyat, seperti pemilu presiden yang tegas diatur dalam Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945. Namun konsep ini tidak sesuai dengan kearifan lokal yang terjadi di daerah Papua, yang mana tiap-tiap pemilih dalam satu kampung menyerahkan kebijakan memilih kepala daerah kepada kepala sukunya. Metode ini juga dilakukan masyarakat Papua di Pilpres maupun Pileg (ketentuan mengenai Pileg juga diatur tegas, dipilih langsung oleh rakyat, diatur dalam Pasal 19 ayat 1 UUD NRI 1945), ini yang dinamakan noken. Metode noken ini dilindungi oleh konstitusi (diatur dalam Pasal 18B ayat 2 UUD NRI 1945), meskipun mayoritas daerah Indonesia menggunakan konsep pemilihan langsung.

DPR menganalisis bahwa telah terjadi banyak masalah yang timbul dari sistem pemilihan kepala daerah langsung. Masalah itu antara lain seperti kasus korupsi kepala daerah yang mencapai angka 287, konflik horizontal, politik dinasti, dan politisasi birokrasi seperti penggunaan fasilitas publik untuk kampanye. Selain itu, penyelenggaraan pilkada menelan biaya yang mahal. Dan yang terakhir, pilkada langsung dianggap tidak sesuai dengan Pancasila sila keempat.

Sila keempat berbunyi Kerakyatan yang dipimpin oleh kebijaksanan dalam permusyawaratan/perwakilan, yang sederhananya dapat diartikan bahwa rakyat dipimpin oleh suatu permusyawaratan/perwakilan. Pada masa sebelum reformasi, pemimpin negara dipilih oleh MPR sebagai lembaga tertinggi negara, karena MPR terdiri dari berbagai unsur elemen masyarakat Indonesia. Ketika terjadi perubahan UUD 1945 atau pasca reformasi, pemilihan pemimpin negara dikembalikan kepada rakyat seutuhnya, yaitu dengan pemilihan langsung, karena MPR bukan lagi lembaga tertinggi negara. Kemudian cara itupun diadopsi ke tingkat daerah, pemilihan kepala daerah pun harus diserahkan kepada rakyat lokal. Karena DPRD bukan merupakan representasi dari berbagai elemen masyarakat lokal, dan DPRD merupakan representasi kepentingan politik atau ideologi tertentu dari kelompok tertentu. Dengan komposisi DPRD yang seperti itu, pantaskah DPRD memilih kepala daerah? Lalu, jika kepala daerah dipilih DPRD, siapa yang sesungguhnya menjadi pemimpin daerah?

Kalaupun dikaitkan dengan identitas bangsa Indonesia, yaitu musyawarah untuk mufakat, kenapa hampir seluruh undang-undang yang merupakan hasil pembahasan di DPR bersama pemerintah selalu diakhiri dengan pemilihan suara terbanyak (voting)? Semakin jelas posisi partai politik yang belum tentu mewakili kepentingan rakyat, atau minimal kepentingan konstituennya (pemilih/pengikutnya). Di sisi lain, sudah ada ratusan putusan Mahkamah Konstitusi yang menggugurkan ketentuan-ketentuan undang-undang, bahkan UU 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian dihapus Mahkamah Konstitusi dan perihal perkoperasian kembali menggunakan UU 25 Tahun 1992. Selain itu, banyak juga Perda yang ditolak atau dihapus oleh Menteri Dalam Negeri karena dianggap bertentangan dengan konstitusi (metode ini dinamakan executive review).

Kasus korupsi kepala daerah yang mencapai angka 287 merupakan ulah dari personel kepala daerah itu sendiri. Sedangkan mayoritas kepala daerah diusulkan oleh partai politik. Maka yang menjadi pertanyaan, bagaimana tanggungjawab partai politik dalam tugasnya melaksanakan pendidikan politik, termasuk kepada kadernya? Solusinya bagaimana? Perlu dibuat undang-undang yang memberikan sanksi tegas kepada partai politik yang gagal mengkader anggota agar selaras dengan konstitusi. Jadi, jual beli calon dalam pilkada dapat dipangkas. Tapi, apa DPR berani membuat aturan seperti itu? Moral dan akhlak yang sejati dapat terlihat dengan jelas dari langkah berani atau tidaknya membuat aturan itu.

Konflik horizontal, politik dinasti (pergantian pimpinan dalam satu hubungan keluarga), dan politisasi birokrasi pun berasal dari personel kepala daerah yang memimpin itu sendiri dengan muatan ambisinya. Sedangkan untuk biaya mahal, masih dapat diatasi dengan pengurangan TPS. Untuk pemilihan kepala daerah, jumlah maksimal pemilih dalam satu TPS adalah 300 pemilih, sedangkan banyak TPS yang berisikan setengah dari jumlah maksimal tersebut.



Landasan Naskah Akademik

Dalam Naskah Akademik UU Pilkada, yang menjadi fokus perhatian adalah: pertama, penegasan posisi rekrutmen kepala daerah, apakah termasuk rejim pemda atau rejim pemilu, atau bahkan rejim campuran?; kedua, mengenai keberadaan wakil kepala daerah yang tidak diatur dalam UUD NRI 1945, apakah wakil kepala daerah tetap dipertahankan? Kemudian jika tetap dipertahankan, apakah rekrutmen wakil kepala daerah tersebut menggunakan cara dipilih atau diangkat? Lalu dalam rekrutmen wakil kepala daerah tersebut, apakah berpasangan dengan kepala daerah atau tidak? Sedangkan wakil kepala daerah bertanggungjawab kepada kepala daerah. Apabila rekrutmennya secara berpasangan, tentunya posisi kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah seimbang.

Kemudian dalam kesimpulannya, Naskah Akademik tersebut memang tidak memberikan rekomendasi atas posisi pilkada, secara langsung atau tidak langsung, karena memang pendapat mengenai pilihan itu tertuang pada kata “demokratis” dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945. Hal ini memang memberikan kebebasan kepada pembentuk undang-undang untuk memilih berdasarkan perkembangan yang terjadi. Selain itu, penegasan kepada posisi kepala daerah provinsi dengan kepala daerah kabupaten/kota. Dan pasangan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah yang berasal dari partai politik selalu menghasilkan rivalitas yang berujung pada ketidakharmonisan pasangan kepala daerah dan wakil kepala daerah dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Dengan kata lain, Naskah Akademik sudah memberikan sinyal implisit mengenai rendahnya urgensi perubahan metode pemilihan kepala daerah. Jika sudah menggunakan metode pemilihan secara langsung, maka jangan “dimundurkan” lagi. Karena pemilihan secara langsung merupakan penerapan opsi tertinggi yang sebagai kemajuan yang optimal. Kemudian secara eksplisit menunjukkan urgensi penegasan posisi kepala daerah provinsi sebagai wakil pemerintah pusat, dan posisi kepala daerah kabupaten/kota merupakan wajah desentralisasi atau otonomi yang sesungguhnya.



Kesimpulan

Jika dilihat dari sejarah sebelumnya, pada tingkat presiden, pernah tidak dipilih langsung oleh rakyat, dan itu berlangsung lama. Saat itu presiden dipilih oleh MPR, dimana MPR merupakan kumpulan berbagai elemen masyarakat (partai politik, kesukuan, agama, akademisi, pemerintah, militer, kepolisian, dan lain-lain). Bukan seperti saat ini dimana konfigurasi MPR terdiri dari perpaduan DPR dan DPD, DPR merupakan wakil rakyat dalam sebuah partai politik untuk kepentingan tertentu, sedangkan DPD merupakan perwakilan daerah yang tidak mencerminkan keragaman elemen masyarakat dalam satu daerah dan bahkan banyak daerah. Oleh karena itu, MPR saat ini bukan lagi lembaga tertinggi negara, melainkan suatu lembaga tinggi negara yang sejajar dengan Presiden, DPR, dan lembaga tinggi lainnya menurut UUD NRI 1945. Akibatnya, kedaulatan dikembalikan kepada rakyat sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (2) UUD NRI 1945 bahwa Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar, dan Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum.

Jika dasar pelaksanaan kegiatan para kader partai politik bersumber dari pemikiran akhlak mulia dan moral, maka permasalahan yang timbul dari pelaksanaan pilkada langsung akan dapat diatasi dengan baik. Sebaliknya, jika masalah-masalah yang timbul akibat pilkada langsung sudah tidak dapat diatasi dengan akhlak mulia dan moral, segenap bangsa harus sepakat untuk menggunakan cara kepala daerah dipilih oleh DPRD. Dan masalah-masalah yang timbul akibat pilkada langsung pun masih bisa diatasi, serta hak masyarakat untuk terlibat aktif memilih kepala daerahnya tidak jadi “dirampas” oleh DPRD.

Perdebatan tentang demokratis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 mungkin bisa diakhiri dengan menggunakan penafsiran dari makna demokrasi itu sendiri. Kata “demokrasi” berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas 2 bagian yaitu demos (rakyat) dan crotos/cratein (kekuasaan/berkuasa), maka makna demokrasi itu sendiri adalah kekuasaan rakyat atau kekuasaan di tangan rakyat. Atau bisa diambil dari semangat kehadiran demokrasi itu sendiri, yaitu untuk melawan tindakan kesewenangan penguasa terhadap rakyat.



Penutup

Alasan-alasan yang dikemukakan untuk mengganti cara pemilihan kepala daerah pun sebenarnya bisa diatasi, yakni dengan pengaturan sanksi tegas bagi partai politik dan efisiensi pengadaan TPS. Di sini rakyat juga bisa melihat, posisi supremasi hukum atau supremasi politik (kepentingan) yang menjadi acuan kader partai politik yang disebut sebagai wakil rakyat di lembaga legislatif. Hukum merupakan produk politik, namun ketika sudah menjadi hukum maka dengan sendirinya hukum memiliki supremasi. Dan hukum progresif lah yang menjadi acuan utama, mengingat Indonesia adalah negara kesatuan, serta saat ini bukan lagi masa Orde Baru, melainkan masa reformasi sebagai jawaban atas keresahan yang dialami selama Orde Baru.

Dari penjabaran konsep checks and balances, konsep pemerintahan, otonomi, dan demokratis, sudah cukup menjelaskan tentang posisi urgensi pemilihan kepala daerah oleh DPRD setempat, yaitu tidak rasional. Jika pendekatan yang digunakan adalah textual approach (pendekatan tekstual), maka pemilihan kepala daerah oleh DPRD adalah sah. Namun jika menggunakan pendekatan progressive approach (pendekatan progresif atau kontekstual), maka pemilihan kepala daerah oleh DPRD telah mencederai semangat lahirnya demokrasi dan konteks perkembangan hukum progresif yang sedang digalakkan oleh negara. Apalagi ketergantungan terhadap pendekatan positivistik (kekakuan terhadap suatu teks) sudah mulai ditinggalkan, dan Indonesia sudah lama menjalankan pendekatan the living constitution yang ternyata lebih bijak dalam mengikuti perkembangan zaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar