Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Sedikit Tentang Pemasyarakatan

Penuntun Bacaan
Tulisan ini dibuat berdasarkan fakta empiris. Fakta empiris yang saya sebutkan di dalam tulisan ini, menurut saya, sudah cukup dapat dikatakan mewakili secara keseluruhan praktik yang sama di dalam dunia Pemasyarakatan. Karena di mana ada ruang praktik pemasyarakatan, gambarannya tidak jauh beda dengan praktik pemasyarakatan lainnya. Kalau pun ada yang lebih baik atau sejalan dengan konsep pemasyarakatan, semata-mata hanya sebagai penyeimbang dan itupun baru terjadi tidak lama ini, dan tentunya dengan pemahaman yang setengah-setengah dalam pelaksanaannya. Kajian terhadap Pemasyarakatan untuk kondisi terkini menurut saya terletak pelaksanaan dari konsep Pemasyarakatan itu sendiri. Dari segala aturan yang dibuat, sudah banyak yang bernafaskan Pemasyarakatan, dan disertai dengan pilihan politik pembuat peraturan perundang-undangan.

Sejarah Singkat Pemasyarakatan
Lembaga Pemasyarakatan (Lapas atau LP) merupakan ujung tombak konsep Pemasyarakatan yang digagas oleh Sahardjo, konsep yang diperkenalkan beliau dalam reformasi sistem kepenjaraan dan berdasarkan pada konsep kemanusiaan (hak asasi manusia). Meskipun pada tanggal 5 Juli 1963 diperkenalkan oleh Sahardjo, yang kemudian mendapat respon positif dari kalangan jawatan kepenjaraan pada saat itu sehingga menghasilkan rumusan ideal sebagai pengganti kepenjaraan pada tahun berikutnya (27 April hingga 7 Mei 1964), Undang-Undang yang mengatur tentang Pemasyarakatan baru diundangkan pada tahun 1995 melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan. Hal itu seiring dengan dipisahkannya jawatan kepenjaraan dari departemen kehakiman pada saat itu.

Artinya, ide pemasyarakatan mengambang selama 31 tahun untuk pelaksanaannya. Meskipun sudah diundangkan pada tahun 1995, metode pembinaan yang dilakukan di wilayah pemasyarakatan pun masih masih menggunakan metode penjeraan. Pun masih terjadi pada akhir-akhir ini, menyepelekan “pembinaan”.

Secara filosofis, pemasyarakatan merupakan sistem yang dirancang untuk meninggalkan filosofi retributif (pembalasan), deterrence (penjeraan), dan resosialisasi. Oleh karena itu konsep pemasyarakatan dikenal sebagai sistem yang memanusiakan manusia. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 1, Pemasyarakatan adalah kegiatan untuk melakukan pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan sistem, kelembagaan, dan cara pembinaan yang merupakan bagian akhir dari sistem pemidanaan dalam tata peradilan pidana. Kemudian pada angka 2 dijelaskan bahwa Sistem Pemasyarakatan adalah suatu tatanan mengenai arah dan batas serta cara pembinaan Warga Binaan Pemasyarakatan berdasarkan Pancasila yang dilaksanakan secara terpadu antara pembina, yang dibina, dan masyarakat untuk meningkatkan kualitas Warga Binaan Pemasyarakatan agar menyadari kesalahan, memperbaiki diri, dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan, dan dapat hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab.

Selain itu, hampir di seluruh bangunan Lapas dan Rutan terdapat tulisan yang kurang lebih seperti ini: “mereka bukan penjahat, hanya tersesat, belum terlambat untuk bertobat”. Yang dimaksud dengan “mereka” adalah para narapidana (Warga Binaan Pemasyarakatan atau disingkat WBP), yang tersesat oleh dirinya sendiri atau oleh pelaksanaan sistem peradilan pidana. Kalimat tersebut juga dimaksudkan untuk para pembina agar memberlakukan mereka dengan arif dan bijaksana. Dapat disimpulkan dengan sederhana bahwa pemasyarakatan adalah satu kesatuan fungsi dan tujuan bagi mereka-mereka yang berada di dalam “wilayah pemasyarakatan”.

Perbedaan Lapas dengan Rutan
Perlu dibedakan konsep yang diberlakukan oleh Rutan dan Lapas. Rutan merupakan tempat penitipan yang berbasis pelayanan kepada mereka yang belum divonis atau masih berstatus tersangka hingga terdakwa. Sedangkan Lapas merupakan tempat pembinaan bagi para terpidana atau mereka yang sudah mendapatkan vonis dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Secara alternatif, Lapas juga dapat difungsikan sebagai Rutan terhadap kabupaten/kota yang belum memiliki Rutan. Dan Rutan dapat difungsikan sebagai Lapas dengan syarat seperti bagi terpidana yang dihukum paling tinggi 2 tahun, mengingat lamanya si terpidana ditahan di Rutan dan kebutuhan “orang lama” dan “orang berpengaruh” di dalam sistem pengamanan di Rutan.

Kebutuhan “orang lama” dan/atau “orang berpengaruh” tidak hanya berlaku di Rutan, tapi juga di Lapas, khususnya “orang berpengaruh”. Sudah menjadi informasi umum bahwa perbandingan petugas dengan penghuni sangatlah jomplang, terkadang bisa mencapai 1 petugas untuk 100 penghuni, jika dari sudut regu penjagaan/pengamanan. Biasanya, 1 regu penjagaan terdiri dari 8 hingga 10 orang, bahkan ada yang 5 orang saja (contohnya di Lapas Nunukan pada tahun 2010). Oleh karena perbedaan yang jomplang itu, petugas harus mempunyai “orang berpengaruh” di tiap kamar, tiap lingkungan atau blok, dan pada tiap-tiap fungsi mengkaryakan WBP dalam berbagai kegiatan (seperti koki, pekerja taman, perawat gedung, perawat kebun, pekerja luar).

Kepegawaian
a. jalur akademik
Selain itu, pada sisi perekrutan petugas atau pegawai masih kental pada gaya titipan, sehingga menyingkirkan banyak sumber daya berkualitas yang seharusnya dibutuhkan dalam sistem pemasyarakatan yang sesungguhnya. Konsep yang diwariskan oleh senior pun bergaya “waspada” terhadap WBP. Diklat Prajabatan dipaksakan seadanya, dan banyak petugas yang merupakan “alumni” dari pendidikan prajabatan karya BKD atau kedaerahan lainnya yang bersifat pendidikan umum PNS. Sedangkan spesialisasi pemasyarakatan hanya bisa didapatkan di Kampus Pengayoman atau Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BPSDM) Kementerian Hukum dan HAM di Gandul-Depok. Dan terakhir, rangkaian umum yang wajib diikuti petugas pemasyarakatan adalah pendidikan/diklat samapta. Diklat ini penuh dengan muatan esprit de corps (semangat membela korps, atau satu orang yang salah dapat diartikan sebagai kesalahan satu tim).

Sebenarnya muatan esprit de corps sudah diperkenalkan sejak pendidikan awal bagi pegawai yang menempuh jalur akademik, yaitu mereka yang menempuh pendidikan di Kampus Pengayoman, BPSDM Kemenkumham, bersama-sama dengan Imigrasi. Jalur mereka layaknya CPNS di tahun awal, dan diangkat sebagai PNS pada tahun berikutnya. Namun jenjang kepangkatannya lebih cepat dari pada PNS yang lain, karena tiap tahun mereka naik “ruang”. Jadi, mereka lulus dengan gelar Ahli Madya Ilmu Pemasyarakatan (A.Md,IP) bagi civitas Pemasyarakatan. Di situ mereka dididik sebagai satu kesatuan tubuh, yang mana jika salah satu salah maka yang lainnya pun akan salah.

Sebagai contoh yang pernah saya alami ketika Diklat Prajabatan Golongan II di Kampus Pengayoman pada November-Desember 2011 silam. Di mana pada saat itu seorang teman letting saya kepergok melakukan aktivitas pemotretan terhadap beberapa civitas perempuan, yang secara kebetulan penempatan mes kami berada di belakang mes civitas perempuan. Gambar-gambar yang diambil pun berupa aktivitas umum, dan bukan yang bersifat pribadi, karena dilakukan di luar ruangan. Perempuan itu marah, berteriak, dan melaporkan kepada rekan-rekan lainnya serta para pembinanya. Dengan segera mereka bergerombol mendekati mes kami, para CPNS Kemenkumham Kaltim.

Hampir mirip dengan geliat-geliat pertemuan masyarakat satu kampung yang hendak menyerang masyarakat kampung lainnya. Pikiran pertama yang terbesit dalam pikiran saya adalah, apakah peradaban di metropolitan itu tidak berbeda dengan peradaban manusia kuno atau masyarakat adat? Banyak kata-kata yang tak pantas yang harus saya dengar di kerumunan kaum terdidik dan pengusung peradaban terdepan di Republik ini. Seperti “usir dia dari sini”, “jangan luluskan dia dari Diklat Prajabatan”, “orang Kaltim kampungan”, “orang Kaltim nda punya sopan santun”, dan lain sebagainya. Sedangkan kalimat yang sedang saya cari di kerumunan itu adalah yang kurang lebih seperti ini “mari kita duduk, dan cari tahu permasalahan ini bersama”, namun sepertinya kalimat itu hanya akan saya dapatkan di kampusku Universitas Balikpapan. Dan parahnya, sempat terjadi pemukulan terhadap si pelaku oleh pembina.

Ujung cerita, pihak “korban” dan teman sekamarnya dikumpulkan dengan para pembina, “pelaku” dan beberapa peserta Diklat Prajabatan Kaltim, termasuk saya. Memory penyimpan data pada kamera pun diambil dan diperiksa isinya, tidak ada gambar vulgar dan semuanya merupakan aktivitas umum. Tuntutan pihak “korban” tetap sama, yaitu si pelaku tidak diluluskan dalam Diklat. Namun menurut Direktur Sekolah Pemasyarakatan saat itu adalah tindakan si pelaku akan dilaporkan kepada pimpinannya di daerah. Seluruh data di memory kamera pun dihapus. Kemudian malamnya pun diberlakukan jam malam bagi para civitas Pemasyarakatan dan Imigrasi, dan para pembina mereka berjaga di mes binaannya. Hal itu dilakukan untuk mencegah peristiwa-peristiwa yang tidak diinginkan, seperti kerusuhan lanjutan. Meskipun akhirnya tidak terjadi hal-hal yang dicegah tersebut.

Dari sekelumit cerita fakta singkat itu, terungkap garis horizontal dan vertikal yang merupakan satu kesatuan saling bela membela, tidak perduli apapun akar masalahnya. Selain itu, konsep pemasyarakatan yang memanusiakan manusia yang mereka peroleh selama pendidikan pun tak terimplikasi sebagai sebuah tanggungjawab moral. Sikap-sikap pelayan dan pembina yang harus mereka sandang pun tampak dibungkus dengan pembungkus dokumen/arsip.

Prinsip esprit de corps pun berdampak pada hubungan antar pegawai lulusan Pemasyarakatan dengan pegawai yang masuk dari jalur umum. Di mana lulusan Pemasyarakatan “tertidur” di atas ranjang empuk “jaminan jabatan dan karier yang pasti”, sedangkan yang masuk dari jalur umum hanya mentok pada jabatan sejajar Kepala Seksi. Atau setidaknya lulusan Pemasyarakatan mendapatkan jatah prioritas dalam tiap-tiap lowongan jabatan. Mereka yang masuk dari jalur umum menganggap lulusan Pemasyarakatan sebagai kaum yang buta praktik dan angkuh, dan yang lulusan Pemasyarakatan menganggap pegawai jalur umum sebagai kaum buta teori dan kaum kelas 2. Silahkan petakan di lapangan, dan selamat mengetahui hasilnya.


b. jalur umum
Bagi para petugas baru dari jalur umum, penekanan fungsi pelayanan di Rutan dan pembinaan di Lapas menjadi tidak nampak. Hanya diserahkan kepada masing-masing petugas. Bisa dilakukan ya syukur, kalau pun tidak bisa ya tidak mengapa, yang penting tidak ada WBP yang kabur, karena akan berdampak pada pangkat dan lain sebagainya. Pengadaan remunerasi yang dimulai pada sekira bulan Agustus tahun 2011 pun hanya sebatas peningkatan rezeki, bukan pada tuntutan peningkatan kinerja sebagai pembina WBP.

Di sini, kehadiran pegawai dan tidak adanya penghuni yang kabur merupakan sebuah hal yang maksimal. Tingkat kerapian pegawai dalam berpakaian dinas pun bisa disebut dengan pakaian preman. Sudah diatur melalui peraturan menteri, namun pegawai itu sendiri yang mengatur pemakaiannya. Dengan kata lain, aturan pegawai merupakan lex superiori dan aturan yang dibuat menteri merupakan lex inferiori.

Ada kasus lain untuk pegawai jalur umum yang kebanyakan “bandel” ini. Saya lupa atau tidak ingat dengan jelas asal aturannya (entah edaran menteri atau Dirjenpas), yang mengatur bahwa rotasi penjagaan harus dilakukan per 1 hari. Sebagai contoh: Senin piket siang, Selasa piket pagi, Rabu piket malam, Kamis libur, Jumat piket siang, dan seterusnya. Namun masih saja banyak UPT (Unit Pelaksana Teknis, seperti Rutan dan Lapas) yang menggunakan rotasi penjagaan per 2 hari, dengan alasan waktu libur di rotasi 1 hari sangatlah sempit karena hari liburnya berkenaan dengan akhir piket malam. Kalau saja malamnya mereka tetap melek dan berjaga sesuai fungsinya, yang sah-sah saja. Sedangkan yang terjadi malah bergantian tidur, dan bahkan ada juga yang tidur serentak satu penjagaan. Bahkan ada juga yang menggunakan sistem rotasi buatan sendiri, yaitu Senin piket pagi dan siang, Selasa piket malam, Rabu-Kamis libur. Sungguh kreatif!

Kegiatan Penghuni atau Warga Binaan Pemasyarakatan
Syarat WBP Lapas untuk ikut berkarya dalam berbagai kegiatan rutin (harian) setidaknya telah menjalani sepertiga masa kurungan, yaitu sebagai tamping (tenaga pemdamping) atau pemuka. Pada masa ini, kepercayaan yang diberikan kepada WBP lebih meluas dibandingkan WBP yang belum mencapai masa sepertiga kurungan, meskipun masih harus melalui seleksi oleh Tim Pengamat Pemasyarakatan yang terdiri atas kepala regu pengamanan (Karupam), kepala pengamanan (Ka. KPLP), dan kepala pembinaan (Kasi Binadik). Pada masa ini juga, WBP bisa keluar Lapas untuk bekerja di kebun atau jasa cuci kendaraan bermotor dengan pengawalan petugas.

Atas dasar keamanan dan pencegahan pelarian bagi WBP yang menjalani hukuman berat atau tindak pidananya tergolong pidana berat, WBP model ini butuh waktu lama untuk merasakan kerja di luar Lapas apabila sudah melewati dua per tiga masa kurungan. Bisa dipercepat dengan perilaku baik yang dilakukan secara konsisten.

Masalah klasik yang masih terjadi adalah penggunaan perangkat elektronik oleh WBP di dalam Lapas. Tentunya ada toleransi bagi penggunaan radio di kamar WBP dengan tujuan menghilangkan rasa jenuh WBP agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan akibat dari rasa jenuh itu. Namun sesungguhnya tidak ada toleransi bagi penggunaan telepon selular secara pribadi di dalam kamar atau di tempat tersembunyi, karena akan berakibat banyak hal yang dapat merugikan Lapas itu sendiri.

Penggunaan telepon selular diperbolehkan jika perangkat tersebut dikuasai penuh (dalam pengawasan langsung) oleh petugas. Syaratnya WBP harus menggunakan bahasa Indonesia dan harus terdengar oleh petugas, untuk menghindari hal-hal yang tidak seharusnya. Dan petugas pun harus menjaga privasi WBP yang menggunakan telepon sebagaimana layaknya rahasia klien dalam bidang medis. Namun, ada kebijaksanaan tersendiri yang dilakukan petugas seperti memberikan kebebasan menggunakan telepon selular kepada tamping tertentu dengan timbal balik informasi yang cepat dan akurat mengenai potensi-potensi buruk yang akan terjadi dari berbagai aktivitas WBP. Ada juga yang memberikan kebebasan itu dengan alasan sanak saudara, orang penting atau pejabat tertentu, dan bahkan lebih parah lagi oleh karena uang 100-200 ribu per bulan.

Masalah klasik lain selain telepon selular adalah masuknya narkoba ke dalam Lapas. Dalam hal protap penjagaan atau pengamanan, Lapas masih menggunakan Surat Keputusan Direktur Jenderal Bina Tuna Warga Nomor DP.3.3/18/14 tanggal 13 Desember 1974 tentang Peraturan Penjagaan Lembaga Pemasyarakatan. Dalam peraturan tersebut menegaskan untuk dilakukannya pemeriksaan terhadap penghuni (WBP) dan petugas, yang hasil pemeriksaannya dicatat ke dalam buku lalu lintas kegiatan penjagaan atau laporan penjagaan.

Diawali dari pintu utama (depan) atau biasa disebut portir (pos portir bisa lebih dari satu), kemudian pos komandan jaga (sekarang kepala regu pengamanan), dan pos lingkungan/blok. Di tiap-tiap pos atau pintu tersebut terdapat petugas yang harus memeriksa dan mencatat lalu lintas setempat, Kepala Lapas melewati pos tersebut pun harus dicatat. Bisa dihitung, berapa petugas yang akan diperiksa jika ternyata ada WBP yang menguasai narkoba di dalam kamar.

Jika ada WBP yang tertangkap menguasai narkoba di luar Rutan atau Lapas, tentu petugas pengawal yang harus diperiksa. Sebaliknya, jika ada WBP yang tertangkap menguasai narkoba di dalam Rutan atau Lapas, maka petugas tiap-tiap pintu harus dimintakan pertanggungjawabannya. Permasalahan yang terjadi, jika terjadi peristiwa WBP menguasai narkoba di luar Rutan atau Lapas, maka diarahkan kepada konspirasi atau niat jahat WBP yang berinteraksi langsung dengan si pembawa narkoba. Yang menjadi pertanyaan, si petugas pengawal di mana dan apa fungsinya? Jika terjadi peristiwa WBP menguasai di dalam Rutan atau Lapas, maka diarahkan kepada konspirasi atau niat jahat WBP yang berinteraksi langsung dengan si pembawa narkoba yang berstatus pembesuk. Yang menjadi pertanyaan, apa tugas dari petugas pintu? Dan metode pemeriksaan yang dilakukan itu sesuai protap atau tidak, jika ada barang terlarang masuk ke dalam?

Termasuk juga pada kasus Amir Aco di Lapas. Apapun alasan petugas Lapas, tetap saja mereka yang bersalah dan harus bertanggungjawab atas kejadian tersebut. Jika barang tersebut dikuasai Amir Aco di dalam Lapas, maka petugas dan bahkan regu pengamanan pada saat itu yang harus diperiksa. Namun jika barang tersebut dikuasai Amir Aco di luar Lapas, maka alasan ini akan membunuh nalar, karena Amir Aco belum menempuh sepertiga masa kurungannya.

Krisis Integritas
Lagi-lagi, pemasyarakatan menunjukkan penegasian terhadap integritas. Dalam Mars Pemasyarakatan dicetuskan bahwa mereka sebagai penegak hukum, dan pada seragam terdapat simbol “Pengayoman”. Hal ini tidak bisa dilepaskan dari masih kurang bersihnya rekruitmen pegawai, doktrin senior yang masih berprinsip “yang penting tidak ada WBP kabur”, pendidikan atau diklat yang diselenggarakan seadanya seperti di daerah, doktrinasi esprit de corps yang masih menjadi budaya kental, tidak adanya penguatan materi sebagai pembina bagi petugas, dan spirit integritas yang hanya sebatas wacana.

Penutup
Oleh karena itu, meskipun proses rekrutmen sudah diawasi langsung oleh Kementerian pusat, perlu adanya aktivis maupun lembaga-lembaga masyarakat independen lainnya yang ikut mengawasi proses rekrutmen hingga hasil akhir. Pemberian penghargaan terhadap pegawai yang melakukan kegiatan pembinaan (meskipun berstatus sebagai anggota pengamanan) terhadap WBP di jadwal jaga, di sini peran Pengawas Internal (Wasintern) Lapas harus ditingkatkan. Pendidikan prajabatan yang harus ditempuh pemegang status CPNS harus di BPSDM Kemenkumham. Sehingga, ide cemerlang almarhum Sahardjo mengenai Pemasyarakatan tidak hanya sebatas kenangan atau sekadar termaktub di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan dan peraturan pelaksanaan lainnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar