Pada akhir-akhir
ini orang-orang pada sibuk dengan sikap Jokowi yang membolehkan untuk
mengosongkan kolom agama pada KTP. Terlebih lagi kader PKS yang malah
menyebarkan bahwa akan ada pengosongan
kolom agama pada KTP. Sehingga membuat pernyataan tegas bahwa kolom agama pada
KTP akan dikosongkan, padahal kebijakan Jokowi adalah membolehkan untuk
mengosongkan kolom agama pada KTP. Oleh karena ada kata “membolehkan” atau “boleh”,
maka pernyataan itu sebenarnya tidak mengharuskan mengosongkan kolom agama,
namun tidak melarang warga negara yang ingin kolom agama pada KTP-nya
dikosongkan. Pada masa orde lama, KTP Indonesia tidak menyertakan kolom agama. Bahkan
pada saat itu merupakan masa kejayaan Masyumi di Indonesia.
Selanjutnya,
mari kita kaji secara mendalam mengenai hal ini. Jika dari aspek sejarah, tak
dapat dibantah bahwa agama-agama yang diberlakukan di Indonesia adalah agama
impor, bukan berasal dari leluhur yang mendiami tanah nusantara ini. Apakah ada
agama yang merupakan warisan leluhur nusantara ini? Ya, benar! Agama/keyakinan
tersebut sudah ada dan eksis di nusantara ini jauh sebelum agama-agama impor (Budha,
Hindu, Katolik, Kristen, Islam, Tionghoa, dan Bahai) masuk ke Indonesia.
Agama apa
saja yang merupakan warisan leluhur kita? Menurut Aliansi Masyarakat Adat
Nusantara (AMAN), terdapat 578 agama/keyakinan lokal yang masih eksis di
Indonesia meskipun mereka saat ini termarjinal. Di bagian barat, ada agama Parmalim
yang dianut oleh bangsa batak. Kemudian ada agama Kejawen yang kemudian
di-Islamkan di Indonesia. Ada lagi agama Sunda Wiwitan yang dianut oleh
masyarakat Sunda di Kanekes (Banten). Kemudian ada agama Cigugur. Ada lagi agama
Kaharingan di Kalimantan, agama Tonaas Walian di Tomohon, agama Tolottang di
Sulawesi Selatan, Aluk Todolo yang merupakan agama asli masyarakat Toraja, ada
juga agama/keyakinan Boti di Timor Tengah Selatan dengan keyakinan yang mereka
sebut dengan Halaika.
Kemudian ada
agama Maesa yang dipeluk suku Bantik di Sulawesi Utara, ada juga agama Adat di
Desa Musi Kelurahan Lirung Sulawesi Utara, ada juga agama Tengger di Bromo yang
enggan disebut sebagai agama Hindu. Dan tentunya masih banyak lagi agama atau
keyakinan yang sudah lama dianut oleh leluhur bangsa dan negara yang besar ini,
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Bagaimana dengan
kebijakan di negara lain? Di Malaysia, Hongkong, Kuwait, Qatar, Yaman, Uni
Emirat Arab, Irak, Suriah, Mesir, Maroko, Jepang, Oman, Pakistan, Bangladesh,
Aljazair, Tunisia, Turki, Singapura, dan masih banyak negara-negara lainnya
yang tidak menyertakan kolom agama ataupun tidak mewajibkan mengisi kolom
agama.
Kemudian pada
kajian yuridis, mari kita kaji dari Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Secara komprehensif, Pasal 1 mengatur bahwa 1) Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan,
yang berbentuk Republik; 2) Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar; 3) Negara Indonesia adalah negara hukum. Selanjutnya,
dalam Pasal 28A mengatur bahwa Setiap
orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.
Lalu di dalam Pasal 28D ayat (1) menyebutkan bahwa Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.
Dalam Pasal
28E secara komprehensif menyebutkan bahwa 1)
Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih
pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih
tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali; 2) Setiap
orang atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai
dengan hati nuraninya; 3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat. Kemudian dalam Pasal 28G ayat (1)
mengatur bahwa Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta benda yang
di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari
ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak
asasi.
Dan dalam
Pasal 28J secara komperhensif menyebutkan bahwa 1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam
tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; 2) Dalam menjalankan
hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin
pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi
tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama,
keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis. Serta dalam
Pasal 29 yang secara komprehensif mengatur bahwa 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa; 2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Dengan uraian
sederhana mengenai agama di atas, yakni dari pernah tidak disertakannya kolom
agama pada masa Orde Lama, kemudian sejarah yang menguatkan bahwa sesungguhnya
ada agama lokal yang telah lahir di nusantara jauh sebelum agama-agama impor
masuk dan mendominasi (disahkan) di Indonesia, penyertaan kolom agama pada KTP
di negara lainnya, dan jaminan perlindungan yang telah diberikan konstitusi
terhadap agama dan pribadi/individu untuk melakukan ataupun tidak melakukan
sesuatu.
Penyertaan kolom
agama, di sisi lain tentunya membuat orang lain yang melihatnya sudah bisa
langsung mengambil kesimpulan/tindakan terhadap si pemilik KTP. Sebagai contoh,
dalam lowongan pekerjaan, ada di salah satu perusahaan jasa dokumen yang tidak
menerima agama lain selain agama Islam. Lalu, sudah bukan rahasia umum lagi
bahwa ranah agama adalah ranah privat atau pribadi. Dan sudah banyak
disosialisasikan mengenai dalil keagamaan bahwa “bagiku agamaku, bagimu agamamu”.
Terus, untuk apa lagi diperdebatkan kebijakan memperbolehkan warga negara yang
tidak mengisi kolom agamanya? Sekian.
Balikpapan,
10 November 2014
Di
salah satu ruangan kampusku tercinta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar