Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Pidana Kurungan, Pidana Seumur Hidup dan Pidana Tutupan


I. Perbedaan Antara Pidana Kurungan Dengan Pidana Penjara
1.  Pidana Kurungan (Pasal 10 huruf a butir 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 18 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa: (1) Pidana kurungan paling sedikit satu hari dan paling lama satu tahun; (2) Jika ada pidana yang disebabkan karena perbarengan atau pengulangan atau karena ketentuan Pasal 52, pidana kurungan dapat ditambah menjadi satu tahun empat bulan; (3) Pidana kurungan sekali-kali tidak boleh lebih dari satu tahun empat bulan.
Selanjutnya, dalam Pasal 19 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana menyebutkan bahwa, Orang yang dijatuhi pidana kurungan wajib menjalankan pekerjaan yang dibebankan kepadanya, sesuai dengan aturan-aturan pelaksanaan pasal 29. Kemudian pada ayat (2) mengatur bahwa, Ia diserahi pekerjaan yang lebih ringan daripada orang yang dijatuhi pidana penjara. Mengenai pelaksanaannya, hakim yang menjatuhkan pidana kurungan untuk waktu paling lama 1 bulan boleh menetapkan bahwa jaksa dapat mengizinkan terpidana bergerak dengan bebas di luar penjara (selama di dalam daerah terpidana tersebut dipidana, kecuali mendapatkan izin dari Menteri) sehabis waktu kerja. Pelaksanaan kebebasan itu tidak diberikan kepada terpidana yang melakukan pengulangan tindak pidana. [vide Pasal 20 ayat (1) dan ayat (3) junto Pasal 21 junto Pasal 23 junto Pasal 24 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana]
Selain mengenai kebebasan yang dimiliki tersebut, terpidana kurungan mendapatkan penempatan yang terendiri (khusus) daripada terpidana penjara. Pidana kurungan juga dapat diberikan kepada terpidana apabila terpidana tersebut tidak mampu membayar denda yang dikenakan kepadanya, untuk waktu paling sedikit satu hari dan paling lama enam bulan. Apabila pidana denda tersebut merupakan karena perbarengan, maka kurungan pengganti yang berupa pidana kurungan tersebut dapat ditetapkan untuk waktu paling lama 8 bulan.

Dengan beberapa rujukan normatif tersebut di atas, maka pidana kurungan merupakan pidana yang limitatif dan alternatif. Mengingat lamanya kurungan yang ditetapkan, penetapan terhadap pidana kurungan merupakan akibat dari perbuatan yang merupakan pelanggaran.

2.  Pidana Penjara (Pasal 10 huruf a butir 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana)
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa pidana penjara merupakan pidana yang diberikan untuk waktu seumur hidup atau selama waktu tertentu. Untuk pidana penjara waktu tertentu diberikan untuk waktu paling lama 15 tahun berturut-turut, dan bisa diberikan hingga waktu 20 tahun berturut-turut apabila hakim berkeyakinan bahwa pidana yang dilakukan adalah perbarengan atau pengulangan tindak pidana. Dalam pelaksanaannya, pidana penjara merupakan pidana hilang kemerdekaan terhadap terpidana di tempat ia menjalankan pidananya.


3.  Kesimpulan
Dengan demikian, oleh karena pidana kurungan merupakan hukuman terhadap terpidana yang melakukan, dan pidana penjara merupakan hukuman terhadap terpidana yang melakukan kejahatan, maka di situlah letak perbedaan antara pidana kurungan dengan pidana penjara. Seperti itulah yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Mengenai pemidanaan, meskipun menggunakan terminologi kurungan maupun penjara, penulis tidak sepakat dengan apa yang telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tersebut. Karena dari terminologi “penjara”, kata “penjara” merupakan pergeseran dari kata “penjeraan”, dimana penjeraan merupakan metode yang digunakan oleh pemerintah Hindia Belanda dalam menerapkan hukumnya di Indonesia ratusan tahun yang lalu.

Oleh karena merupakan tindakan penjeraan, maka teknisnya adalah bagaimana membuat si terpidana jera dan tidak mengulangi lagi perbuatannya yang ternyata merupakan tindak pidana. Sebagai contoh, jenis pemidanaan ada 2, yaitu dwang arbeid (kerja paksa) dan ter arbeid stellen (dipekerjakan). Untuk kerja paksa yang lamanya melebihi 5 tahun, maka pelaksanaannya dengan rantai (dwang arbeid aan de ketting). Ada lagi, untuk yang di bawah 3 bulan disebut dengan krakal.

Seiring dengan konsep hak asasi manusia dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia pada tahun 1948 melalui Resolusi 217A oleh PBB, konsep pemenjaraan pun mulai dihapuskan oleh banyak negara, termasuk Indonesia. Maka pada tahun 1963, Sahardjo yang waktu itu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, diperkenalkan suatu Sistem Pemasyarakatan sebagai pengganti konsep penjara yang telah lama dilakukan di Indonesia.

Sistem Pemasyarakatan yang menitikberatkan pada pembinaan dan pembimbingan terhadap terpidana agar menjadi manusia yang berguna dan dapat berperan dalam pembangunan bangsa dan negara, akhirnya ditetapkan oleh Jawatan Kepenjaraan setahun setelah diperkenalkan oleh Sahardjo. Oleh karena itu, di Indonesia khususnya Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia terlebih Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, melakukan upacara peringatan Pemasyarakatan setiap tanggal 27 April. 

Terhadap Sistem Pemasyarakatan tersebut, jajaran Direktorat Jenderal Pemasyarakatan sudah memberlakukan Standard Minimum Rules (SMR). Dimana pelaksanaan SMR tersebut merupakan penerapan minimal terhadap terpidana. Oleh karena itu, penggunaan terminologi “penjahat” atau “narapidana/napi” sudah tidak relevan lagi dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan sebagaimana yang telah digagas oleh Sahardjo. Maka, penyebutan bagi terpidana telah bergeser menjadi Warga Binaan Pemasyarakatan (WBP). Dengan demikian, sudah seyogyanya penggunaan “pidana penjara” maupun “pidana kurungan” tidak digunakan lagi dalam kerangka hukum maupun ilmu hukum itu sendiri.


II. Pengertian Pidana Penjara Seumur Hidup
Menurut Chairul Huda, dari Universitas Muhammadiyah Jakarta, hukuman seumur hidup berarti si terpidana harus menghabiskan sisa hidupnya di dalam lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya, mengenai pendapat para ahli yang lain, penulis menemukannya. Dengan demikian, penulis akan memberikan sumbangsih terhadap pengertian dari pidana seumur hidup itu sendiri.

Apabila dilihat dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, bahwa Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati, pidana seumur hidup, dan pidana penjara selama waktu tertentu, atau antara pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu; begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena perbarengan, pengulangan atau karena ditentukan pasal 52, maka pidana seumur hidup merupakan alternatif dari pidana mati. Dengan logika apabila seorang yang berumur 22 tahun dan dikenakan pidana seumur hidup dengan mengikuti jumlah umur terpidana, yaitu 22 tahun, maka pidana seumur hidup versi ini akan melanggar batasan pidana 20 tahun sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 12 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

Tentu juga melanggar ketentuan tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang mayoritas terdakwanya adalah orang yang berumur 40an tahun. Selanjutnya akan menjadi pertanyaan, apakah mayat/jenazah dari orang tersebut masih harus di dalam lembaga pemasyarakatan karena pidananya belum selesai?

Dengan argumentasi tersebut, penulis berpendapat bahwa pidana seumur hidup merupakan pidana yang membuat terpidana harus menjalani sisa hidupnya di dalam lembaga pemasyarakatan. Oleh karena itu, pidana seumur hidup yang menggunakan logika bahwa pidana yang dijalankan adalah selama umur si terpidana adalah keliru. Demikian.


III. Pengertian Pidana Tutupan
Pengaturan mengenai pidana atau hukuman tutupan telah diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. Dijelaskan lebih lanjut bahwa hukuman tutupan merupakan hukuman penjara. Ketika terpidana terbukti bersalah melakukan kejahatan, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. Ketentuan lebih lanjut mengenai hukuman tutupan, diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan.

Menurut Utrecht, Rumah Tutupan bukan suatu penjara biasa tetapi merupakan suatu tempat yang lebih baik dari penjara biasa, selain karena orang yang dihukum bukan orang biasa, perlakuan kepada terhukum tutupan juga istimewa. Selanjutnya diatur dalam Pasal 33 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan, bahwa Makanan orang hukuman tutupan harus lebih baik daripada makanan orang hukuman penjara.

Terhadap pelaksanaannya, Adam Chazawi mengungkapkan bahwa, sepanjang praktik hukum di Indonesia, pernah terjadi satu kali hakim menjatuhkan pidana tutupan yaitu putusan Mahkamah Tentara Agung pada tanggal 27 Mei 1948 yang mengadili para pelaku kejahatan yang dikenal dengan sebutan peristiwa 3 Juli 1946 atau dikenal juga dengan sebutan “Tiga Juli Affaire”. Serupa dengan itu, Andi Hamzah juga menuturkan bahwa, pidana tutupan disediakan bagi para politisi yang melakukan kejahatan yang disebabkan oleh ideologi yang dianutnya. Tetapi dalam praktik dewasa ini tidak pernah ketentuan tersebut diterapkan.

Terhadap pidana tutupan, penulis berpendapat bahwa pidana tutupan sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan junto Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Karena memberikan jalan terhadap perlakuan diskriminatif terhadap terpidana, yaitu membedakan penempatan terpidana berdasarkan kelas atau status sosial dari si terpidana itu sendiri. Sedangkan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan, yang membedakan orang adalah perbuatan yang dilakukannya. Sebagai contoh dalam pembinaan dan pembimbingan dalam pemasyarakatan, terpidana tindak pidana narkotika atau tindak pidana berupa kejahatan berat ditempatkan di tempat yang khusus untuk itu, agar terhindar dari pelaku tindak pidana umum.

Dengan demikian, sepatutnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan dan Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 1948 tentang Rumah Tutupan dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi, demi memberikan kepastian hukum yang lebih.



Balikpapan, 15 Mei 2015


Sumber:

Andi Hamzah, Asas-ASas Hukum Pidana
Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I
Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia
Muh. Khamdan, 2012, Islam dan HAM Narapidana, Kudus, Paradigma Institut
Muh. Khamdan, 2012, Pesantren di Dalam Penjara, Kudus, Paradigma Institut

Tidak ada komentar:

Posting Komentar