Indonesia
memiliki beraneka ragam budaya yang melimpah ruah yang didukung pula oleh
geografi yang luas dari himpunan ribuan pulau besar maupun kecil. Sudah banyak
investor asing yang masuk ke Indonesia dengan berbagai cara karena melimpahnya
potensi alam Indonesia yang menggiurkan. Berbanding terbalik, warga negara
Indonesia sendiri yang kurang serius dalam mengolah potensi-potensi alam yang
besar.
Adapun salah
satu keanekaragaman yang ada di Indonesia adalah mengenai budaya atau tradisi
bangsa Indonesia. Budaya atau tradisi tersebut dikembangkan oleh manusia atau
komunitas lokal sebagaimana kearifan-kearifan lokal yang berlaku di daerah itu
sendiri. Pengetahuan atau karya tersebut dipakai oleh suatu generasi dan diteruskan
oleh generasi berikutnya dan berkembang sesuai dengan kebutuhan masyarakat
wilayah tertentu[1].
Pengetahuan
tradisional mencakup metode budidaya dan pengolahan tanaman (pertanian),
pengobatan, obat-obatan, resep makanan dan minuman, kesenian dan lain sebagainya[2].
Perlindungannya dirasakan penting mengingat bahwa pengetahuan tradisional
merupakan sumber pengetahuan penting yang berhubungan dengan kehidupan manusia
yang dapat dikomersialkan. Ada suatu perkiraan bahwa nilai penjualan produk
yang menggunakan pengetahuan tradisional yang berupa sumber genetik setiap
tahun berkisar US$800 milyar[3].
Oleh karena
memiliki nilai komersial yang tinggi, maka tentunya harus ada sebuah aturan
yang mengatur mengenai hal tersebut agar tidak terjadi persengketaan yang
berkelanjutan di masyarakat, bahkan secara internasional. Jika yang diatur
adalah mengenai pengetahuan, tentunya berhubungan dengan intelektualitas
manusia. Yang dalam hal ini adalah mengenai Hak atas Kekayaan Intelektual.
Pengetahuan
tradisional sendiri sudah diakui oleh internasional melalui Convention on Biological Diversity (CBD)
yang mulai berlaku sejak tahun 1993, dan telah diratifikasi oleh sekitar 170
negara. Dalam Pasal 8 huruf j Konvensi ini menetapkan bahwa negara peserta
Konvensi harus menghormati, memelihara dan menjaga pengetahuan tradisional,
dalam menggunakannya harus meminta persetujuan dari dan melibatkan pemegangnya,
dan harus mendukung pembagian kemanfaatan (benefits) secara adil dari
penggunaannya. Namun, sampai saat ini belum ada kesepakatan internasional
tentang bagaimana ketentuan tersebut diimplementasikan. Perjanjian TRIPS (Trade-Related Aspects of Intellectual
Property Rights), yang merupakan salah satu perjanjian dalam the World Trade Organization, tidak
berisi ketentuan yang tegas mengenai pengetahuan tradisional dan sama sekali
tidak menunjuk CBD walaupun usulan untuk itu sudah ada[4].
PEMBAHASAN
A.
Hak Atas Kekayaan Intelektual
Menurut Pasal
1.2 Perjanjian TRIPS, hukum Hak atas Kekayaan Intelektual merupakan serangkaian
hukum yang memberikan dan mengatur hak-hak kepada pihak yang telah melakukan
usaha kreatif yang meliputi Hak Cipta, Paten, Hak atas Merek, Rahasia Dagang,
Indikasi Geografis dan lain sebagainya. Menurut Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta, Hak Cipta adalah hak eksklusif bagi
Pencipta atau penerima hak untuk mengumumkan atau memperbanyak Ciptaannya atau
memberikan izin untuk itu dengan tidak mengurangi pembatasan-pembatasan menurut
peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat 1
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 tentang Paten, Paten adalah hak eksklusif
yang diberikan oleh Negara kepada Inventor atas hasil Invensinya di bidang
teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri Invensinya
tersebut atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk
melaksanakannya. Kemudian, menurut Pasal 1 ayat 1 tentang Rahasia Dagang
menjelaskan bahwa Rahasia Dagang adalah informasi yang tidak diketahui oleh umum
di bidang teknologi dan/atau bisnis mempunyai nilai ekonomi karena berguna
dalam kegiatan usaha, dan dijaga kerahasiaannya oleh pemilik Rahasia Dagang.
Untuk
pendaftaran terhadap kekayaan intelektual tersebut dikelola oleh negara melalui
Kementerian Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, khususnya pada
Direktorat Jenderal Hak Atas Kekayaan Intelektual. Jika belum didaftarkan, maka
klaim atas kekayaan intelektual tidak dapat dilindungi. Dan bentuk dari
kekayaan intelektual tersebut haruslah kongkret, bukan sekadar gagasan dan
tanpa manuskrip.
Ada tiga posisi
isu mengenai hubungan antara pengetahuan tradisional dengan hukum Hak atas
Kekayaan Intelektual. Pertama, The Public
Domain Position, yang menyatakan bahwa pengetahuan tradisional harus menjadi
milik umum yang boleh dinikmati semua penduduk di dunia. Posisi ini menentang
usaha yang ingin menjadikan pengetahuan tradisional sebagai barang komoditi.
Oleh karena itu, mereka tidak setuju penciptaan Hak atas Kekayaan Intelektual
untuk pengetahuan tradisional, karena Hak atas Kekayaan Intelektual lebih
mementingkan perlindungan hak individu sehingga merupakan jalan yang akan
merusak lembaga dan struktur tradisional dalam pengetahuan tradisional[5].
Kedua, The Appropriation Position, yang
mendukung kepemilikan eksklusif pengetahuan tradisional oleh suatu lembaga atau
badan untuk bisa menentukan penggunaannya untuk tujuan komersial dan penggunaan
lainnya. Dengan kata lain, mereka beranggapan bahwa pengetahuan tradisional
harus dijadikan komoditas dan menjadikan hukum Hak Atas Kekayaan Intelektual
sebagai sebuah hal yang penting untuk menentukan bagaimana dan siapa yang
berhak memanfaatkan pengetahuan tradisional[6].
Ketiga, The Moral Rights Position, yang
menyatakan bahwa pemegang pengetahuan tradisional harus dilindungi dan diberi
hak yang berupa kepemilikan yang penuh dan dapat mencegah atau menentang klaim
para pengambil manfaat atau pemakai pengetahuan tradisional, termasuk
perusahaan multinasional. Di sini, pengetahuan tradisional dapat
dikomersialisasikan tetapi hanya oleh mereka (pemegang) yang berhak[7].
Dari ketiga isu
posisi tersebut, menurut penulis, bentuk ideal adalah ada pada posisi isu yang
pertama, dan yang digunakan di Indonesia adalah posisi The Public Domain Position. Karena di Indonesia memiliki
keanekaragaman budaya dan pengetahuan tradisional. Namun di sisi lain, negara
kerap abai dalam melindungi budaya dan pengetahuan tradisional yang menurut
sejarah adalah peninggalan sejarah yang melambangkan kebangsaan.
Pengetahuan
tradisional selalunya berhubungan erat dengan budaya ataupun sejarah. Di
Indonesia, pengetahuan tradisional diatur dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun
2002 tentang Hak Cipta. Sebagaimana yang dijelaskan dalam Pasal 10 bahwa Negara
lah sebagai pemegang hak cipta atas karya peninggalan prasejarah, sejarah, dan
benda budaya nasional lainnya.
B.
Konsep Ideal Pengetahuan Tradisional di Indonesia
Meskipun sudah
diatur di dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta,
hal ikhwal pengetahuan tradisional belum diatur lagi mengenai teknisnya ke
peraturan perundang-undangan lainnya, dalam undang-undang tersebut hanya menjelaskan
secara general. Hal ini akan menjadi bumerang ketika ada negara tetangga yang
secara tiba-tiba mengklaim pengetahuan tradisional milik Indonesia.
Tanpa perlu
dikaji lebih mendalam, Indonesia sebagai negara berkembang memang mempunyai
kekayaan yang berlimpah ruah mengenai pengetahuan tradisional dan indikasi
geografis. Namun, Indonesia belum maksimal mengkonkretkan potensi yang dimiliki
karena lemahnya regulasi yang mengatur, pengetahuan, skill, dan profesionalisme
masyarakat. Kondisi tersebut justru dimanfaatkan oleh negara maju yang mempunyai
kelebihan teknologi, kemampuan finansial
maupun teknis, dan melalui mekanisme beroperasinya berbagai perusahaan multinasional.
Karena memiliki
keragaman pengetahuan tradisional dan budaya yang terbesar, kini indonesia
menjadi sasaran utama pembajakan pihak asing. Pencurian pengetahuan tradisional
dan budaya yang terjadi di berbagai daerah selama ini, dilakukan dengan cara
”berkedok” kerja sama penelitian. Pengetahuan tradisional itu sangat luas,
dapat meliputi bidang teknologi, seni, pangan, obat, seni tari, musik, desain dari masyarakat. Dan tentu yang disayangkan
adalah para aktivis-aktivis yang kritis itu sendiri yang melakukan pembocoran
kepada pihak luar negeri.
Negara-negara maju,
seperti Amerika Serikat sering memberi cap negara-negara berkembang sebagai
pembajak. Ini perlu dibalik karena banyak
tanam-tanaman obat dari negara berkembang yang dicurinya. Mereka justru yang
berutang royalty pada para petani negara-negara berkembang, dan mereka sebagai
Biopiracy yang harus mempertanggungjawabkan. Paten terhadap pengetahuan
tradisional oleh negara maju membuat khawatir dan menusuk perasaan keadilan.
Orang-orang asing mempelajari, mencari ilmu medis tradisional, tanaman
obatan-obatan suku asli, kemudian dipatenkan. Justru kemudian dijual dengan
harga yang mahal ke dunia ketiga[8].
Tantono Subagyo mengumpulkan
Paten Jepang (40 paten) yang menggunakan bahan tanaman obatan-obatan asal
Indonesia, seperti brotowali, daun sukun gondopuro, sambiloto, cabe Jawa, dan
sebagainya[9].
Akhirnya ada sebagian dari paten tersebut ditarik sendiri oleh Perusahaan
Shiseido. Selanjutnya, berita yang mengagetkan pada tahun 1991 tertentu masih
kita ingat yaitu Perajin asal Bali pernah digugat di Pengadilan Distrik New
York atas motif ukiran produknya yakni gelang motif naga dan kalung motif
Borobudur[10].
Selain
Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta yang perlu diberikan aturan
pelaksanaan, Indonesia juga perlu memperbaiki Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001
tentang Paten. Dimana di dalam undang-undang tersebut juga mengatur mengenai
pengetahuan tradisional, namun belum adanya penegasan mengenai perlindungan
atas pengetahuan tradisional. Misalnya, dengan mensyaratkan penyebutan
pengetahuan tradisional yang dipakai dalam penemuan yang dimohonkan paten dan
meminta izin kepada pemegang pengetahuan tradisional. Di dalam UU Paten
harusditegaskan bahwa pengetahuan tradisional merupakan prior art yang bisa mementahkan permohonan paten, bahkan bisa
dipakai sebagai alasan untuk membatalkan paten.
Kalau berdasarkan
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang tentang Paten, jika Indonesia mengakui
pengetahuan tradisional luar negeri yang tidak tertulis sebagai prior art, maka Indonesia bisa
dirugikan. Karena invensi yang sama dengan pengetahuan tradisional luar negeri
yang tidak tertulis tidak bisa dipatenkan di Indonesia, sehingga bangsa Indonesia
tidak mendapatkan “transfer of technology”
yang menggunakan pengetahuan tradisional luar negeri tersebut. Ini juga bisa
memberikan dampak negatif bagi arus modal asing ke Indonesia. Meskipun bangsa Amerika
Serikat bisa saja mengabulkan permohonan paten yang menggunakan pengetahuan
tradisional Indonesia yang tidak tertulis, sehingga bangsa Amerika Serikat tetap
bisa “mencuri” atau mengeksploitasi pengetahuan tradisional Indonesia yang
seharusnya merupakan prior art.
Sayangnya,
sampai sekarang pengertian prior art
masih menjadi pergunjingan dan multitafsir bagi dunia internasional. Walaupun
Pasal 27 ayat (1) Perjanjian TRIPS mencamtumkan Kebaruan (Novelty) sebagai
salah satu syarat pemberian paten, namun tidak menjelaskan pengertian prior art secara gamblang. Jadi, negara-negara
anggota dipersilahkan untuk mendefinisikan prior
art sendiri-sendiri, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Konvensi Wina
mengenai asas good faith dalam
penafsiran perjanjian internasional.
KESIMPULAN
Dari apa yang
sudah disebutkan di atas, langkah baik yang harus dilakukan oleh pemerintah
dalam perlindungan terhadap pengetahuan tradisional adalah dengan melakukan
perubahan pada undang-undang hak cipta dan undang-undang paten, beserta
peraturan pemerintah agar lebih gamblang dalam perlindungannya dan tidak memberikan
multitafsir.
Di sini para
legislator yang merumuskan peraturan perundang-undangan untuk perlindungan
terhadap pengetahuan tradisional dengan teliti dan memperhatikan
pertimbangan-pertimbangan dari para budayawan, sejarawan, maupun masyarakat
tradisional yang masih setia mempertahankan budaya Indonesia di berbagai
tempat.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Garcia, 2007:7
2. Mgbeoji, 2001:82
3. Sharma, 2004
4.
Dutfield, 2003: 16
5.
Ghosh, 2003: 499-500
6.
Asial Law Group, 2001: 32
7.
Tantono Subagyo, 2002: 2-6
8.
Forum Keadilan 1999: 31
Tidak ada komentar:
Posting Komentar