Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Apakah Aset Negara dapat Dipailitkan?

Untuk mengawali, baiknya untuk mengetahui pengertian dari aset. Sebagaimana menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia dijelaskan bahwa aset adalah sesuatu yang mempunyai nilai tukar; modal; kekayaan. Jika digabungkan antara”aset” dan “negara”, maka “aset negara” memiliki pengertian sesuatu yang mempunyai nilai milik negara; modal negara; kekayaan negara.

Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dijelaskan bahwa “Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD”. Selanjutnya dalam angka 10 pasal a quo disebutkan bahwa “Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”. Dan dalam angka 11 pasal a quo disebutkan bahwa “Barang Milik Daerah adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBD atau berasal dari perolehan lainnya yang sah”. Selanjutnya dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah bahwa barang milik negara/daerah tersebut meliputi barang yang diperoleh dari hibah/sumbangan atau yang sejenis, barang yang diperoleh sebagai pelaksanaan dari perjanjian/kontrak, barang yang diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang, atau barang yang diperoleh berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.

Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dijelaskan bahwa “Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut”. Kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 2 undang-undang a quo bahwa keuangan negara sebagaimana telah disebut meliputi:

  1. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan pinjaman;
  2. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan membayar tagihan pihak ketiga;
  3. Penerimaan Negara;
  4. Pengeluaran Negara;
  5. Penerimaan Daerah;
  6. Pengeluaran Daerah;
  7. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah;
  8. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan dan/atau kepentingan umum;
  9. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan pemerintah.

Menurut Pasal 2 ayat (5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan bahwa “Dalam hal Debitor adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan”. Pada Penjelasan atas pasal a quo bahwa yang dimaksud dengan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik adalah badan usaha milik negara yang seluruh modalnya dimiliki negara dan tidak terbagi atas saham. Selanjutnya dijelaskan bahwa kewenangan Menteri Keuangan dalam pengajuan permohonan pailit untuk instansi yang berada di bawah pengawasannya seperti kewenangan Bank Indonesia dan Badan Pengawas Pasar Modal, sebagaimana diatur dalam ayat lain dalam pasal a quo. Kemudian dalam Pasal 55 ayat (1) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara ditambahkan bahwa “Direksi hanya dapat mengajukan permohonan ke pengadilan negeri agar Perum (Perusahaan Umum, penulis) dinyatakan pailit berdasarkan persetujuan Menteri”.

Sementara dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara diatur bahwa pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap:

  1. uang atau surat berharga milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
  2. uang yang harus disetor oleh pihak ketiga kepada negara/daerah;
  3. barang bergerak milik negara/daerah baik yang berada pada instansi Pemerintah maupun pada pihak ketiga;
  4. barang tidak bergerak dan hak kebendaan lainnya milik negara/daerah;
  5. barang milik pihak ketiga yang dikuasai oleh negara/daerah yang diperlukan untuk penyelenggaraan tugas pemerintahan.


Dan dalam Penjelasan atas Pasal 60 ayat (3) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dijelaskan bahwa:
  • Dalam hal pejabat yang melakukan kerugian negara adalah menteri/pimpinan lembaga, surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara dimaksud diterbitkan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
  • Dalam hal pejabat yang melakukan kerugian negara adalah Menteri Keuangan, surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara dimaksud diterbitkan oleh Presiden.
  • Dalam hal pejabat yang melakukan kerugian negara adalah pimpinan lembaga, surat keputusan pembebanan penggantian kerugian sementara dimaksud diterbitkan oleh Presiden.
Jika diambil dari makna penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan Presiden lah yang menentukan pembebanan penggantian kerugian atas kerugian negara melalui sebuah surat keputusan.

Dalam hal kepailitan, jika subyek dinyatakan pailit oleh pengadilan yang mengadili perkara kepailitan, maka selanjutnya dilakukan sita atas barang/benda yang dapat dinilai untuk mengganti nilai pailit yang diputuskan oleh pengadilan. Sedangkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara mengatur bahwa pihak mana pun dilarang melakukan penyitaan terhadap aset negara.

Maka, ketika pengadilan yang mengadili perkara kepailitan memutuskan bahwa salah satu badan usaha milik negara tersebut pailit, usaha penyitaan terhadap aset badan usaha milik negara tidak dapat dilakukan, melainkan dengan keputusan Presiden untuk membebankan penggantian. Artinya, Presiden dapat menentukan beban penggantian tersebut kepada badan usaha milik negara lainnya, keuangan negara yang dikhususkan untuk itu, dan lain sebagainya sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain bahwa badan usaha negara dapat dipailitkan, namun tidak untuk melakukan sita terhadap aset negara yang ada pada badan usaha negara tersebut berdasarkan putusan pengadilan yang mengadili perkara itu, hanya sebatas dinyatakan pailit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar