Memang dalam
pembagian kekuasaan di Indonesia walaupun berdasarkan pada pembagian trias politica oleh Montesqieu, tetapi
tidak sepenuhnya dilaksanakan pemisahan kekuasaan, tetapi didasarkan pada
distribusi kekuasaan atau pembagian fungsi, kekuasaan legislatif, kekuasaan
eksekutif, dan kekuasaan yudikatif.[2]
Hal tersebut diperkuat oleh Ridwan HR dengan nama “Legislasi yang Tidak
Mandiri", bahwa kewenangan atau kekuasaan legislasi dibuat bersama-sama dengan
pihak lain.[3]
Legislatif yang secara luas dikenal sebagai pembuat undang-undang ternyata
bersama-sama dengan eksekutif dalam membuat undang-undang. Tentu pemikiran
tersebut dilandasi dengan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 ayat (1), Pasal
10 ayat (2), Pasal 19, dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Masa reformasi
yang menghasilkan perubahan atas Undang-Undang Dasar 1945[4]
dalam 4 tahap, melahirkan sebuah lembaga baru pada susunan yudikatif yang
sejajar dengan Mahkamah Agung, yakni Mahkamah Konstitusi. Adapun hasilnya
terdapat 5 kewenangan Mahkamah Konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 yakni
sebagai pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final
untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, memutus pembubaran partai politik, memutus perselisihan tentang
hasil pemilihan umum, dan memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pada tanggal 16
Agustus 2003, sembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi yang mengucapkan sumpah
jabatan. Kesembilan orang hakim Mahkamah Konstitusi tersebut adalah Jimly
Asshiddiqie selaku Ketua merangkap anggota, H. M. Laica Marzuki sebagai Wakil
Ketua merangkap anggota, H. A. S. Natabaya, H. A. Mukhtie Fadjar, H. Achmad
Roestandi, Harjono, I Dewa Gede Palguna, Maruarar Siahaan, dan Soedarsono.
Dilanjutkan dengan pelimpahan perkara dari Mahkamah Agung ke Mahkamah
Konstitusi, pada tanggal 15 Oktober 2003, yang menandai mulai beroperasinya
kegiatan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman
menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk kajian
lebih lanjut mengenai permasalahan hukum dalam penulisan ini, penulis memulai
dengan sejarah singkat hingga akibat hukum daripada putusan Mahkamah Konstitusi
itu sendiri. Sebelumnya, perlu diketahui bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki
empat fungsi sebagaimana yang diungkapkan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi
yang pertama kali, Jimly Asshiddiqie, yaitu sebagai pengawal konstitusi (the guardian of the constitution),
pengawal demokrasi (the guardian of
democracy), pelindung hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara
(the protector of human rights and the
citizens’ constitutional rights),
dan penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of the constitution)[5].
1.
Sejarah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi
Pembicaraan mengenai pembentukan lembaga atau badan
tersendiri yang berwenang dalam melakukan pengujian Undang-Undang terhadap UUD
1945 sudah dibahas oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI), dengan nama Mahkamah Agung, yakni oleh Muhammad Yamin.
Namun saat itu ditolak oleh Soepomo dengan alasan bahwa Indonesia kala itu
masih belum mempunyai pengalaman dalam hal pengujian undang-undang, dan harus
ada lembaga tersendiri dan khusus (constitutioneel
hof) yang mengurusi konsistensi peraturan perundang-undangan dalam
pelaksanaan konstitusi[6].
Ide pembentukan sebuah lembaga atau badan yang khusus
untuk menguji peraturan perundang-undang dengan konstitusi (judicial review) berawal dari langkah
yang dilakukan oleh Chief Justice (Ketua
Mahkamah Agung Amerika Serikat) John Marshall pada tahun 1803. Kala itu John
Marshall membatalkan Judiciary Act
1978 karena isinya bertentangan dengan Konstitusi Amerika Serikat, meskipun di
dalam Konstitusi Amerika Serikat tidak tercantum ketentuan tentang judicial review.[7]
Sebelum terobosan yang dilakukan oleh John Marshall
itu, memang sudah ada kebiasaan hakim tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang
yang dianggap tidak adil, tetapi John Marshall adalah orang pertama yang (bukan
hanya tidak mengikuti ketentuan Undang-Undang melainkan) membatalkan
Undang-Undang melalui pengujian. John Marshall mengemukakan 3 alasan atas rechtsvinding atau penemuan hukum
tentang pengujian yudisial itu:[8]
a) hakim bersumpah untuk menjunjung tinggi konstitusi, sehingga jika ada
peraturan yang bertentangan dengan konstitusi harus melakukan uji materi.
b) konstitusi adalah the supreme law
of the land sehingga harus ada pengujian terhadap peraturan yang di
bawahnya agar the supreme law itu
tidak dilangkahi isinya.
c) hakim tidak boleh menolak perkara, sehingga kalau ada yang mengajukan
permintaan judicial review harus
dipenuhi.
d) selain ketiga alasan itu melalui disertasi tahun 1993 saya menambahkan
satu alasan lagi tentang perlunya judicial
review itu yakni karena hukum adalah produk politik. Karena hukum adalah
produk politik, maka harus ada mekanisme pengjian agar isi maupun prosedur
pembuatannya benar secara hukum dan bukan hanya menjadi alat justifikasi atas
kehendak pemegang kekuasaan politik.
Selain itu, Hans Kelsen menjelaskan bahwa mengenai
fungsi legislatif dari pengadilan, bahwa pengadilan membatalkan hukum yang
tidak konstitusional jika pengadilan itu kompeten untuk membatalkan suatu
peraturan atas dasar bahwa peraturan itu ternyata bertentangan dengan hukum
(undang-undang), atau–seperti kadang-kadang terjadi–bahwa peraturan itu tampak
“tidak masuk akal”. Jika pengadilan membatalkan suatu peraturan karena
peraturan itu tampak tidak masuk akal, maka fungsi legislatif dari pengadilan
adalah sangat jelas. Selanjutnya pengadilan menjalankan fungsi legislatif
ketika keputusan-keputusannya di dalam kasus konkrit menjadi suatu
yurisprudensi (pedoman) bagi keputusan tentang kasus-kasus yang sama.
Pengadilan dengan kompetensi ini melahirkan suatu norma umum melalui
keputusan-keputusan yang setaraf dengan undang-undang yang dilahirkan oleh yang
disebut organ legislatif.[9]
Tidak hanya pada tahun 1945 saja ide untuk membentuk
sebuah badan independen yang khusus melakukan pengujian terhadap Undang-Undang.
Pada tahun 1950 saat diberlakukannya konstitusi Republik Indonesia Serikat,
desakan untuk mengadakan badan atau lembaga untuk menguji Undang-Undang masih
digulirkan, pun hingga pada tahun 1965 ketika Soekarno turun takhta sebagai
Presiden.
Hingga akhirnya pada perubahan ketiga Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 di tahun 2001, Mahkamah Konstitusi
dimuat dalam Konstitusi Republik Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Majelis Permusyawaratan Rakyat yang bersidang
saat itu menentukan bahwa Mahkamah Konstitusi dibentuk selambat-lambatnya pada
tanggal 17 Agustus 2003.
Keberadaan Mahkamah Konstitusi didasari pada kebutuhan
check and balances antara legislatif,
eksekutif, dan yudikatif. Di mana legislatif sebagai pemegang kekuasaan
membentuk undang-undang, fungsi legislasi, fungsi pengawasan, fungsi anggaran,
dan impeachment terhadap Presiden
dan/atau Wakil Presiden. Eksekutif sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan,
sebagai pemimpin negara, mengajukan rancangan undang-undang, pelaksana
undang-undang, dan hubungan ke luar. Sedangkan Yudikatif berperan sebagai
pemegang kekuasaan kehakiman, di mana terdapat 2 Mahkamah yang berdiri sejajar
yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung memiliki wewenang
dalam hal menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang (yang
dibuat oleh legislatif maupun eksekutif) terhadap Undang-Undang. Dan Mahkamah
Konstitusi memiliki wewenang dalam hal menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Sebagaimana yang diungkapkan Mahfud bahwa kehadiran
Mahkamah Konstitusi merupakan respons yang baik dari upaya amandemen UUD 1945
terhadap tuntutan check and balances
antara legislatif dan yudikatif.[10]
Sehingga terjadi perimbangan antara ketiga lembaga atau kekuasaan tersebut, dan
dapat memutus dominasi atas satu atau dua kekuasaan. Dan tidak terus menerus
dikuasai oleh kekuasaan eksekutif yang selalu didominasi oleh militer pada masa
kejayaan Orde Baru.[11]
Dari penjelasan sederhana di atas, dapat disimpulkan
bahwa yudikatif atau kekuasaan kehakiman tidak hanya melaksanakan (mengadili)
peraturan perundang-undangan produk eksekutif dan legislatif, tetapi juga
melakukan kontrol terhadap produk peraturan perundang-undangan yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi yang pucuknya berada pada Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Namun bukan berarti Mahkamah Konstitusi
dapat mengeluarkan putusan mengenai Undang-Undang yang dianggap bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tanpa adanya
permohonan atas itu. Jika hal tersebut dilakukan Mahkamah Konstitusi, maka
Mahkamah Konstitusi telah mencampuri urusan yang sesungguhnya bukan menjadi
kewenangannya. Fungsi kontrol atau check
and balances atas produk Undang-Undang sebagaimana yang diurai dalam konstitusi
Indonesia adalah sebatas menguji Undang-Undang yang diajukan atau dimohonkan
oleh pemohon yang bukan dari Mahkamah Konstitusi.
Kendati kekuasaan kehakiman memiliki wewenang dalam
menggali keadilan yang belum atau tidak termuat dalam peraturan perundang-undangan,
bukan berarti Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan ultra petita. Karena ketika putusan ultra petita dikeluarkan oleh Mahkamah
Konstitusi, maka akan terbangun persepsi bahwa Mahkamah Konstitusi memutus
perkara yang diinginkan. Selanjutnya terjadi konsepsi hakim menjadi hakim atas
dirinya sendiri atau Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menjadi pemohon dalam
perkara yang diperiksanya. Dan hal itu tentunya bertentangan dengan asas hukum
yang harus dipegang teguh oleh para hakim yaitu nemo judex idoneus in propia causa.
2.
Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Ada lima model permohonan yang menjadi kewenangan
Mahkamah Konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 7B dan Pasal 24C
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Pelaksanaannya
merupakan pengadilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat
final.
a) Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Permohonan model ini yang sesungguhnya menjadi pokok
bahasan utama yang mendesak segera dibentuknya Mahkamah Konstitusi sebagaimana
yang telah dijelaskan sebelumnya di atas. Pemohon yang berhak mengajukan
permohonan pengujian materi Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Pasal 3 Peraturan Mahkamah
Konstitusi adalah perorangan warga negara Indonesia atau kelompok yang mempunyai
kepentingan yang sama, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang, badan hukum publik atau badan hukum
privat, atau lembaga negara.
Dari keempat unsur yang telah disebut di atas bukan
merupakan sebuah kesatuan, melainkan cukup salah satu unsur saja yang harus
dipenuhi, maka pemohon tersebut akan memiliki legal standing dalam mengajukan permohonan. Dan dilengkapi dengan
adanya hak konstitusional pemohon yang telah diatur dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang dirasa telah merugikan pemohon.
Permohonan yang diajukan dalam pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ini ada 2
macam, yaitu pengujian formil Undang-Undang dan pengujian materiil
Undang-Undang. Permohonan pengujian formil Undang-Undang jika Undang-Undang
yang akan diuji dianggap tidak memenuhi syarat pembentukkannya sebagaimana yang
telah diatur peraturan perundang-undangan, tentunya yang menjadi tolok ukur
adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dan permohonan
pengujian materiil Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 yang dimaksud adalah jika ada 1 atau beberapa atau
keseluruhan isi atau pasal dari Undang-Undang yang dimohonkan dianggap oleh
pemohon telah bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
b)
Sengketa Kewenangan Lembaga Negara
Dalam permohonan model ini, yang dapat menjadi pemohon atau termohon
adalah Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Presiden, Badan Pemeriksa Keuangan, Pemerintahan
Daerah, atau lembaga lain yang kewenangannya diberikan atau ditentukan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, kecuali Mahkamah
Agung. Pemohon yang mengajukan permohonan model ini harus mempunyai kepentingan
langsung terhadap kewenangan yang dipersengkatan. Sebagai contoh, kewenangan
konstitusional-nya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan
oleh lembaga negara yang lain.
c)
Pembubaran Partai Politik
Partai politik yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi untuk dibubarkan
apabila ideologi, asas, tujuan, program, atau kegiatan partai politik dianggap
bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Pemohonnya adalah Pemerintah yang dapat diwakili Jaksa Agung dan/atau Menteri
yang ditugasi Presiden untuk itu. Yang jadi termohon adalah partai politik yang
diwakili oleh pimpinan partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan.
d)
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum
Pada awal beroperasinya Mahkamah Konstitusi, ada 3 rezim pemilihan umum
dianut oleh Mahkamah Konstitusi dalam mengadili, yaitu pemilihan umum Presiden
dan Wakil Presiden, pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), dan pemilihan umum
kepala daerah. Hingga akhirnya pada tanggal 19 Mei 2014, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 yang mengabulkan permohonan
mengenai pengujian terhadap Pasal 236C Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008
tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan Pasal 29 ayat (1) huruf e Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang dianggap bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Yang pada pokoknya
adalah Mahkamah Konstitusi tidak memiliki kewenangan untuk mengadili
perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah sebagaimana yang diatur dan
ditentukan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Meskipun pada bagian lain amar putusannya, Mahkamah Konstitusi menyatakan masih
berwenang mengadili perselisihan hasil pemilihan umum kepala daerah selama
belum ada Undang-Undang yang mengatur mengenai hal tersebut.
Maka, dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013
tanggal 19 Mei 2014 tersebut, rezim pemilihan umum yang ideal adalah pemilihan
umum Presiden dan Wakil Presiden, dan pemilihan umum legislatif (Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah). Penanganan sengketa hasil pemilihan umum kepala daerah tetap
diberlakukan sampai dengan pembuat undang-undang mengundangkan undang-undang
yang mengatur mengenai lembaga mana yang berwenang dalam mengadili sengketa
hasil pemilihan umum kepala daerah, agar tidak terjadi kekosongan hukum. Karena
masih akan ada pemilihan umum kepala daerah, yang mana hasilnya berpotensi
terjadi sengketa. Dan pembentukan undang-undang mengenai hal tersebut tidak
bisa segera dibuat dalam waktu cepat akibat dari pelaksanaan pemilihan umum
legislatif yang baru selesai dilaksanakan 40 hari sebelum adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut, yang artinya legislatif
masih dalam masa transisi.
Oleh karena belum ada undang-undang yang dibuat khusus untuk
melaksanakan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tersebut di atas
dan Mahkamah Konstitusi masih berwenang mengadili sengketa hasil pemilihan umum
kepala daerah untuk menghindari kekosongan hukum akibat putusannya, maka tidak
ada salahnya untuk tetap menjelaskan sedikit tentang permohonan perselisihan
hasil pemilihan umum kepala daerah. Obyek perselisihan pemilihan umum kepala
daerah adalah hasil penghitungan suara yang telah ditetapkan, yang oleh pemohon
dianggap mempengaruhi penentuan pasangan calon yang dapat mengikuti pemilihan
putaran kedua, atau mempengaruhi terpilihnya pasangan calon sebagai kepala
daerah dan wakil kepala daerah. Yang dimaksud pemohon dalam sengketa ini adalah
pasangan calon, dan sebagai termohon adalah Komisi Pemilihan Umum provinsi atau
Komisi Independen Pemilihan provinsi, atau Komisi Pemilihan Umum kabupaten/kota
atau Komisi Independen Pemilihan kabupaten/kota.
Untuk sengketa hasil pemilihan umum legislatif (Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah), yang menjadi
termohon adalah Komisi Pemilihan Umum. Dan yang menjadi pemohon adalah sebagai
berikut:
1)
partai politik peserta pemilu;
2) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang telah memperoleh persetujuan secara tertulis
dan pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai politik peserta pemilihan
umum yang bersangkutan;
3) partai politik lokal peserta pemilihan umum untuk
pengisian keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat
Kabupaten/Kota di Aceh;
4) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat
Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/Kota di Aceh yang telah memperoleh
persetujuan secara tertulis dan pengajuan permohonannya dilakukan oleh partai
politik lokal peserta pemilihan umum yang bersangkutan; dan
5) perseorangan calon anggota Dewan Perwakilan Daerah
peserta pemilihan umum.
Obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum ini adalah penetapan perolehan suara hasil
pemilihan umum secara nasional yang dianggap mempengaruhi perolehan kursi pemohon,
terpilihnya pemohon, atau terpenuhinya ambang batas perolehan suara pemohon.
Khusus mengenai terpenuhinya ambang batas perolehan suara pemohon, pemohon yang
dimaksud adalah partai politik peserta pemilihan umum secara nasional.
Dan untuk obyek dalam sengketa hasil pemilihan umum
Presiden dan Wakil Presiden adalah penetapan hasil pemilihan umum Presiden dan
Wakil Presiden yang dilakukan secara nasional oleh Komisi Pemilihan Umum yang
menurut pemohon dianggap mempengaruhi penentuan pasangan calon yang masuk pada
pemilihan putaran kedua, atau mempengaruhi terpilihnya pasangan calon Presiden
dan Wakil Presiden. Sedangkan yang menjadi pemohon adalah pasangan calon, dan
yang menjadi termohon adalah Komisi Pemilihan Umum.
e)
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Dugaan
Pelanggaran yang Dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden
Pada perkara pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai
dugaan pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden (atau lazimnya disebut
dengan impeachment), pemohonnya hanya
DPR saja, dan termohonnya tentu hanya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Pemohon
wajib menguraikan secara jelas mengenai dugaan Presiden dan/atau Wakil Presiden
telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela,
dan/atau Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai
Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. Jika permohonan sudah dicatat dalam Buku
Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah Konstitusi harus menyampaikan kepada
Presiden paling lambat 7 hari setelah itu.
Apabila Presiden dan/atau Wakil Presiden mengundurkan
diri pada saat proses pemeriksaan, Mahkamah Konstitusi menghentikan pemeriksaan
dan menyatakan permohonan pemohon telah gugur. Putusan Mahkamah Konstitusi
mengenai perkara pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan pelanggaran
oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden ini wajib diputus paling lambat 90 hari
sejak permohonan dicatat dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi. Dalam
perkara ini, Mahkamah Konstitusi menggunakan kode “PDPR” dalam putusannya.
Keunikan wewenang yang dimiliki Mahkamah Konstitusi
tersebut tak bisa dihindari. Misalnya, catatan mengenai kompetensi dua lembaga
kehakiman (Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi) seperti yang pernah
dikritisi Mahfud MD dalam bukunya[12]
bahwa idealnya Mahkamah Konstitusi itu diberikan wewenang untuk menangani
“konflik peraturan perundang-undangan”, mulai dari yang tinggi sampai yang
paling rendah. Dan Mahkamah Agung diberikan wewenang untuk menangani “konflik
antarorang dan/atau badan hukum dan/atau lembaga”. Khusus pada konflik
peraturan perundang-undangan itu harus diberikan batasan tegas agar tidak
tumpang tindih dengan wewenang Peradilan Tata Usaha Negara, karena pastinya
akan ada tarik ulur perihal keputusan-keputusan yang dikeluarkan oleh para
pejabat negara. Ide idealitas Mahfud MD tersebut tentu sejalan dengan empat
fungsi yang dijabarkan oleh Jimly Asshiddiqie pada bagian sebelumnya di atas.
3.
Syarat Hakim Mahkamah Konstitusi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (3) Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Mahkamah Konstitusi memiliki 9
orang anggota hakim yang ditetapkan oleh Presiden, yang terdiri atas 3 orang
yang diajukan oleh pemerintah, 3 orang yang diajukan oleh legislatif, dan 3
orang yang diajukan oleh Mahkamah Agung. Sedangkan kedudukannya, terdiri atas 1
orang ketua yang merangkap sebagai anggota, 1 orang wakil ketua yang merangkap
sebagai anggota, dan 7 orang anggota.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 15 Undang-Undang Nomor
24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011
tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian
yang tidak tercela, adil, dan negarawan yang menguasai konstitusi dan
ketatanegaraan. Selain itu, hakim Mahkamah Konstitusi harus memenuhi syarat:
a) warga negara Indonesia;
b) berijazah doktor dan magister[13]
dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;
c) bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;
d) berusia paling rendah 47 tahun dan paling tinggi 65 tahun pada saat
pengangkatan;
e) mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewibawaan;
f) tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan;
g) tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan;
h) mempunyai pengalaman bekerja di bidang hukum paling sedikit 15 tahun dan/atau
pernah menjadi pejabat negara[14].
4.
Hukum Acara Mahkamah Konstitusi
Pada Mahkamah Konstitusi sendiri memiliki dua macam
sidang, yaitu Sidang Yudisial dan Sidang Non-Yudisial. Sidang Yudisial terdiri
atas Sidang Panel dan Sidang Pleno. Sidang Non-Yudisial merupakan sidang yang
diselenggarakan dalam rangka pengucapan sumpah Ketua dan/atau Wakil Ketua
Mahkamah Konstitusi.
Sidang Panel, yang merupakan bagian dari Sidang
Yudisial, dilaksanakan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi
permohonan, dan dapat juga untuk memeriksa pokok permohonan. Pada Sidang Panel
ini, minimal 3 orang hakim harus hadir. Sedangkan Sidang Pleno, yang merupakan
bagian kedua dari Sidang Yudisial, dilaksanakan untuk memeriksa, mengadili, dan
memutus perkara. Seluruh hakim Mahkamah Konstitusi harus hadir dalam Sidang
Pleno ini, yakni 9 orang hakim. Kecuali dalam keadaan luar biasa (keadaan di
mana hakim berada pada keadaan di luar kebiasaan/idealitas dari seorang hakim),
hakim yang hadir bisa dengan 7 orang saja.
Selain sidang-sidang yang sudah disebutkan di atas,
Mahkamah Konstitusi memiliki 2 model rapat, yaitu Rapat Yudisial dan Rapat
Non-Yudisial. Rapat Yudisial terdiri atas Rapat Panel Hakim dan Rapat
Permusyawaratan Hakim. Rapat Panel Hakim diselenggarakan untuk menyusun laporan
dan rekomendasi Panel Hakim mengenai pemeriksaan pendahuluan dan pemeriksaan
persidangan, yang dihadiri minimal 3 orang hakim. Sedangkan Rapat
Permusyawaratan Hakim diselenggarakan untuk membahas atau memusyawarahkan
perkara dan mengambil putusan. Pola kehadiran hakim yang digunakan oleh Rapat
Permusyawaratan Hakim ini sama dengan pola yang digunakan oleh pola kehadiran
hakim pada Sidang Pleno.
Penyelenggaraan Rapat Non-Yudisial dimaksudkan untuk
membahas atau memusyawarahkan dan mengambil keputusan non-perkara. Pola
kehadiran hakim pun sama dengan pola yang digunakan pada Sidang Pleno dan Rapat
Permusyawaratan Hakim di atas. Dengan kata lain, Rapat Non-Yudisial ini
diselenggarakan hanya untuk membahas hal-hal internal Mahkamah Konstitusi
sendiri.
Pemohon yang mengajukan permohonan harus menyerahkan
berkas tertulis sebanyak 12 rangkap mengenai uraian permohonan secara jelas
yang ditandatangani oleh pemohon atau kuasa hukumnya, dan harus disertai alat
bukti yang mendukung permohonan yang dimohonkan. Setelah permohonan dicatat
dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi, Mahkamah akan memberikan salinan
permohonan kepada DPR dan Presiden paling lambat 7 hari, dan menetapkan hari
sidang pertama paling lambat 14 hari kemudian. Pihak terkait dalam permohonan
harus sudah menerima pemberitahuan paling lama 5 hari kerja. Pemohon dapat
menarik kembali permohonan yang dimohonkan ke Mahkamah Konstitusi paling lama
ketika permohonan sudah dalam pemeriksaan, dan penarikan permohonan
mengakibatkan permohonan tidak dapat diajukan kembali.
Para pihak, saksi, dan ahli wajib hadir memenuhi
panggilan sidang Mahkamah Konstitusi yang sudah diterima paling lambat 3 hari
sebelum hari persidangan. Jika saksi tidak hadir tanpa alasan yang sah meskipun
sudah dipanggil, Mahkamah Konstitusi dapat menghadirkan saksi secara paksa
dengan bantuan pihak kepolisian.
Pemeriksaan persidangan Mahkamah Konstitusi terdiri
atas pemeriksaan pokok permohonan, pemeriksaan alat bukti tertulis,
mendengarkan keterangan para pihak yang berperkara, mendengarkan keterangan
saksi, mendengarkan pendapat ahli, mendengarkan keterangan pihak terkait,
pemeriksaan rangkaian data, keterangan, perbuatan, keadaan dan/atau peristiwa
yang sesuai dengan alat bukti lain yang dapat dijadikan petunjuk. Dan
pemeriksaan alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa
dengan alat bukti itu.
Selain hal-hal tersebut di atas, dalam hukum acara
Mahkamah Konstitusi dikenal penggunaan alat atau sistem elektronik. Pendaftaran
permohonan dapat dilakukan melalui sistem online,
atau mendaftarkan langsung ke situs resmi Mahkamah Konstitusi (www.mahkamahkonstitusi. go.id). Begitu juga dengan dokumen-dokumen pendukung
permohonan dapat diajukan dengan mengirim surat elektronik (e-mail) ke alamat resmi milik Mahkamah
Konstitusi.
Kemudian dalam persidangannya, Mahkamah Konstitusi
juga menggunakan pemeriksaan jarak jauh (video
conference). Penggunaannya harus menghasilkan gambar secara langsung atau
seketika dan suara yang jelas (real time),
atau serupa dengan gaya konvensional (berkomunikasi secara langsung,
berhadap-hadapan). Namun beban yang timbul akibat pelaksanaan video conference tersebut ditanggung
oleh pemohon, sedangkan penggunaan fasilitas yang tersedia di Mahkamah
Konstitusi tidak dikenakan biaya.
Penggunaan perangkat eletronik tersebut dimaksudkan
agar dapat mewujudkan sistem peradilan yang modern, cepat, dan sederhana
menerima perkara. Mengingat juga bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan
satu-satunya peradilan yang berwenang mengadili perkara pengujian undang-undang
terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia, pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh Presiden dan/atau Wakil
Presiden, pembubaran partai politik, sengketa hasil pemilihan umum, dan
sengketa konstitusional lembaga negara, yang pemohonnya bisa saja dari seluruh
pelosok wilayah Indonesia.
5.
Pertimbangan Yang Digunakan Mahkamah Konstitusi Dalam Memutus Perkara
Dalam putusannya, Mahkamah Konstitusi memutus perkara
berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai
dengan minimal 2 alat bukti dan keyakinan hakim, disertai dengan pertimbangan
hukum yang menjadi dasar putusan. Penetapan putusan Mahkamah Konstitusi
menggunakan metode Rapat Permusyawaratan Hakim yang diselenggarakan untuk
mencapai kemufakatan putusan perkara, dan jika menemukan jalan buntu (dead lock) majelis hakim menggunakan
cara pemungutan suara terbanyak para hakim. Dan putusan Mahkamah Konstitusi
memperoleh kekuatan hukum tetap (final atau
erga omnes, dan self executing) sejak selesai diucapkan dalam Sidang Pleno terbuka
untuk umum.
Dalam membuat pertimbangan atas putusannya, Mahkamah
Konstitusi berdasarkan pada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia sebagai pemegang posisi tertinggi dalam hierarki peraturan
perundang-undangan di Indonesia, agar putusannya menimbulkan rasa adil. Selain
itu, Mahkamah Konstitusi dapat merujuk pada teori-teori yang berhubungan dengan
perkara yang diperiksa, dan risalah-risalah sidang Majelis Permusyawaratan
Rakyat maupun Dewan Perwakilan Rakyat yang membahas khusus untuk itu.
Selain hal-hal tersebut di atas yang bersifat normatif
atau merujuk pada hal-hal yang diatur khusus untuk itu, Mahkamah Konstitusi
dapat juga menggunakan putusan pengadilan (yurisprudensi), kebiasaan-kebiasaan
yang hidup dan berkembang dalam kehidupan sehari-hari, serta kebiasaan
masyarakat internasional (international
customary law atau jus cogens).
Dalam pengadilan Indonesia, yurisprudensi atau jus cogens tidak berlaku secara imperatif. Dan dalam kenyataannya
yurisprudensi tidak banyak ditemukan[15].
Selanjutnya dipertegas oleh Jimly bahwa dalam sistem hukum Indonesia,
dipersyaratkan bahwa putusan pengadilan itu (i) harus sudah merupakan putusan
yang berkekuatan hukum tetap (inkracht
van gewijs), (ii) dinilai baik dalam arti memang menghasilkan keadilan bagi
pihak-pihak bersangkutan, (iii) putusan yang harus sudah berulang beberapa kali
atau dilakukan dengan pola yang sama di beberapa tempat terpisah, (iv) norma
yang terkandung di dalamnya memang tidak terdapat dalam peraturan tertulis yang
berlaku, atau kalaupun ada tidak begitu jelas, dan (v) putusan itu dinilai
telah memenuhi syarat sebagai yurisprudensi dan direkomendasikan oleh tim
eksaminasi atau tim penilai tersendiri yang dibentuk oleh Mahkamah Agung atau
Mahkamah Konstitusi untuk menjadi yurisprudensi yang bersifat tetap. Untuk
diakui sebagai yurisprudensi yang bersifat tetap, putusan pengadilan harus
memenuhi kelima persyaratan tersebut secara kumulatif. Namun demikian, sekali
putusan pengadilan itu benar-benar dianggap sebagai yurisprudensi, maka bagi
para hakim di pengadilan, statusnya dianggap sebagai salah satu sumber hukum
yang mengikat seperti halnya undang-undang.[16]
6.
Akibat Hukum Yang Timbul Setelah Adanya Putusan Mahkamah Konstitusi
Mengenai Pengujian Undang-Undang
Putusan Mahkamah Konstitusi mengikat secara umum sejak
putusannya dibacakan terbuka di depan umum pada sidang putusan Mahkamah
Konstitusi, karena Mahkamah Konstitusi merupakan pengadilan di tingkat pertama
dan terkahir yang putusannya bersifat final dan mengikat. Mengikat secara umum
yang dimaksud adalah tidak hanya berimplikasi terhadap pemohon dan/atau
termohon saja, melainkan juga berimplikasi terhadap seluruh warga negara.
Karena Mahkamah Konstitusi merupakan bagian dari
kekuasaan yudikatif atau kekuasaan kehakiman, maka hakim dan putusan Mahkamah Konstitusi
haruslah merdeka dari intervensi pihak mana pun, sehingga putusannya
mencerminkan rasa keadilan bagi rakyat Indonesia. Selain itu, telah dijelaskan
pula dalam Penjelasan Umum tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Keberadaan
Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara yang berfungsi menangani perkara
tertentu di bidang ketatanegaraan, dalam rangka menjaga konstitusi agar
dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan kehendak rakyat dan
cita-cita demokrasi”.
Mahkamah Konstitusi tidak dapat membatalkan
Undang-Undang secara keseluruhan, melainkan menyatakan bahwa materi atau pasal
yang dimohonkan “tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat”. Mahkamah Konstitusi
tidak dapat memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk mengganti ataupun
mengubah Undang-Undang yang telah diundangkan yang dinyatakan tidak mempunyai
kekuatan hukum mengikat. Selanjutnya diatur dalam Pasal 57 ayat (3)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaiman telah
diubah dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi bahwa “Putusan
Mahkamah Konstitusi yang mengabulkan permohonan wajib dimuat dalam Berita
Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak putusan
diucapkan”.
Putusan hakim konstitusi sebagai negative
legislator mengikat secara umum baik terhadap warga negara maupun
lembaga-lembaga negara sebagai penyelenggara kekuasaan pemerintahan. Akibatnya
semua organ penegak hukum, terutama pengadilan terikat untuk tidak menerapkan
lagi hukum yang telah dibatalkan tersebut.
Putusan yang bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan
dalam sidang pleno yang terbuka untuk umum menyebabkan materi muatan ayat,
pasal dan/atau bagian undang-undang ataupun undang-undang secara keseluruhan
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat. Hal tersebut membawa implikasi
atau akibat hukum yang sama dengan diundangkannya satu undang-undang yaitu
bersifat erga omnes. Itu berarti bahwa putusan tersebut mengikat seluruh
warga negara, pejabat negara, dan lembaga negara.[17]
7.
Judicial Review
Judicial Review merupakan salah satu
kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang telah diamanatkan oleh
konstitusi Indonesia melalui Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. Pada masa sebelum amandemen atau perubahan atas Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, wewenang Judicial Review terletak pada Majelis Permusyawaratan Rakyat
sebagai lembaga tertinggi negara saat itu. Sebagaimana diatur dalam Pasal 5
ayat (1) TAP MPR RI Nomor III/MPR/2000 bahwa “Majelis Permusyawaratan Rakyat
berwenang menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat”.
Judicial Review yang merupakan kewenangan
Mahkamah Konstitusi dapat disebut sebagai pelaksana fungsi kontrol antar 3
pemegang kekuasaan negara yaitu kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, dan
kekuasaan yudikatif. Di mana dalam sistem ketatanegaraan Indonesia bahwa
eksekutif bersama-sama dengan legislatif membuat Undang-Undang. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh Saldi Isra dalam penjelasannya mengenai judicial review, bahwa dalam terminologi
konstitusionalisme, secara simpel judicial
review dapat diterjemahkan sebagai konsep yang memiliki kaitan erat pada
konstitusi sebagai perangkat nilai serta aturan tertinggi dan dalam penjagaan
perangkat nilai tertinggi.[18]
Tidak dapat disangkal bahwa undang-undang yang dibuat
oleh kedua kekuasaan tersebut merupakan hasil dari kesepakatan politik pada
saat itu. Sedangkan mereka adalah representasi rakyat yang masuk ke dalam
partai politik, dan partai politik mempunyai misi dan ideologi tertentu sesuai
dengan kebutuhan partai politik itu sendiri[19].
Itu berarti produk yang dihasilkan belum tentu sejalan dengan teori dan asas
hukum legislasi pada umumnya yang masih dipegang teguh oleh para akademisi.
Pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik di
Indonesia, menurut A. Hamid S. Attamini, bahwa asas-asas pembentukan peraturan
perundang-undangan yang patut, khususnya ranah keindonesiaan, terdiri atas:
Cita Hukum Indonesia; Asas Negara Berdasar Hukum dan Asas Pemerintahan Berdasar
Sistem Konstitusi; dan asas-asas lainnya.[20]
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, di samping menganut asas-asas
pembentukan perundang-undangan yang baik (beginselen
van behoorlijke wetgeving), juga harus berlandaskan pula pada asas-asas
hukum umum, yang terdiri atas hukum umum negara berdasar atas hukum (rechtstaat), asas hukum umum
pemerintahan berdasarkan sistem konstitusi, asas hukum negara berdasarkan
kedaulatan rakyat.[21]
Tidak dapat dipungkiri bahwa hukum itu sendiri merupakan
produk politik yang dihasilkan oleh pembuat hukum, yaitu legislatif dan
eksekutif, yang berpotensi menyimpang dari norma-norma yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Idealnya, hukum lah
yang mengatur politik sebagaimana konsep supremasi hukum tersebut di atas.
Namun harus disadari bahwa politik lah yang membuat hukum yang di dalamnya
mengatur bagaimana politik itu dijalankan, atau lebih luasnya kehidupan
berbangsa dan bernegara itu diatur.
Sebagaimana hasil telaah atas studi dalam bukunya,
Mahfud MD menyebutkan bahwa perkembangan karakter produk hukum senantiasa
dipengaruhi atau ditentukan oleh perkembangan konfigurasi politik. Artinya
konfigurasi politik tertentu ternyata selalu melahirkan karakter produk hukum
tertentu pula. Pada saat konfigurasi politik tampil secara demokratis, maka
karakter produk hukum yang dilahirkannya cenderung responsive/populistik.
Sedangkan ketika konfigurasi politik bergeser ke arah yang otoriter, maka
produk hukum yang lahir lebih berkarakter konservatif/ortodoks/elitis.[22]
Kehadiran Mahkamah Konstitusi adalah sebuah upaya
memperkuat mekanisme check and balances
antar lembaga negara sehingga tidak terjadi penyalahgunaan wewenang dalam
penyelenggaraan negara sebagaimana dikemukakan oleh Lord Acton, “power tends to corrupt, absolute power
corrupt absolutely”. Oleh karena itu sebagai pelaksanaan fungsi check and balances, jika undang-undang
produk legislatif ternyata terbukti melanggar konstitusi dapat dibatalkan
keberlakuannya oleh Mahkamah Konstitusi.[23]
Dalam hal ini, kontrol dalam bentuk judicial
review tersebut dapat menjadi sarana untuk melakukan purifikasi
undang-undang yang dihasilkan lembaga legislatif sehingga tidak merugikan
masyarakat.[24]
8.
Konvensi Ketatanegaraan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konvensi memiliki
definisi “permufakatan” atau “kesepakatan”, terutama mengenai adat, tradisi,
dan lain sebagainya. Atau dengan ringkasnya, penulis menyimpulkan bahwa
konvensi merupakan sebuah kebiasaan yang terjadi tanpa didasari oleh sebuah ketentuan
tertulis yang sifatnya mengikat, dan para pihak yang mengikuti kebiasaan
tersebut secara tidak langsung atau tanpa ikrar menyepakati hal yang menjadi
kebiasaan itu, kesepakatan itu hanya sebatas tersirat karena ditandai dengan
tiadanya bantahan atau protes terhadap kebiasaan itu.
AV Dicey, seorang sarjana Inggris yang mula-mula
mempergunakan istilah konvensi sebagai ketentuan ketatanegaraan, menyatakan
bahwa Hukum Tata Negara (Constitutional
Law) yang terdiri atas dua bagian, yaitu[25]:
a)
Hukum Konstitusi (The
Law of the Constitution) yang terdiri dari:
1)
Undang-Undang tentang Hukum Tata Negara (Statuta Law).
2)
Common Law, yang berasal dari keputusan-keputusan Hakim (Judge-made maxims) dan
ketentuan-ketentuan dari kebiasaan serta adat temurun (tradisional).
b)
Konvensi-konvensi Ketatanegaraan (Conventions of the Constitution) yang berlaku dan dihormati dalam
kehidupan ketatanegaraan, walaupun tak dapat dipaksakan oleh pengadilan apabila
terjadi pelanggaran terhadapnya.
Konvensi merupakan bagian dari konstitusi, yang
berlaku dan dihormat dalam kehidupan ketatanegaraan. Konvensi sebagai pelengkap
dari aturan-aturan tertulis, yang umumnya berlaku di negara-negara modern saat
ini, khususnya negara-negara yang berasaskan demokrasi. Konvensi atau kebiasaan
ketatanegaraan ini merupakan hukum tak tertulis yang secara tidak langsung
terpelihara dalam praktik ketatanegaraan. Sebagai contoh konvensi
ketatanegaraan adalah Presiden yang menyampaikan pidato kenegaraan di
penghujung jabatannya.
Kehadiran konvensi bukan untuk mengubah Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Oleh karena itu, konvensi tidak
boleh bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, konvensi berperan sebagai partnership
memperkokoh kehidupan ketatanegaraan Indonesia di bawah sistem Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia.[26]
Daftar
Pustaka
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang
Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Undang-Undang
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24
Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi.
Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam Memutus
Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara
Pengujian Undang-Undang.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 17 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara dalam
Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006 tentang Pedoman Beracara dalam Sengketa
Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 18 Tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan
Elektronik (Electronic Filing) dan
Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video
Conference).
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 2 Tahun 2012 tentang Persidangan Mahkamah Konstitusi.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 1 Tahun 2012 tentang Produk Hukum Mahkamah
Konstitusi.
Peraturan
Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008 tentang Prosedur Beracara dalam
Pembubaran Partai Politik.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 19 tentang Tata
Tertib Persidangan.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 108/PUU-IX/2014 tanggal 20 Maret 2014.
Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XI/2013 tanggal 19 Mei 2014.
Buku
Dahlan
Thaib, Jazim Hamidi & Ni’matul Huda, 1999, Teori dan Hukum Konstitusi (Edisi Ketiga, 2011), Jakarta, Rajawali
Pers.
Jimly
Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara: Jilid I, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.
Kelsen,
Hans, 2007, Teori Umum Hukum dan Negara:
Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik,
Jakarta, Bee Media Nusantara.
Luhut
Pangaribuan, MP, 2008, Hukum Acara
Pidana: Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi,
Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali), Edisi Revisi Maret
2008, Jakarta, Djambatan.
Mahfud
MD, Moh. 2010, Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers.
———————,
2010, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca
Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers.
———————,
2009, Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Pers.
Ridwan,
HR, 2006, Hukum Administrasi Negara
(Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers.
Saldi
Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fugsi
Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers.
Widjaya,
HAW, 2005, Penyelenggaraan Otonom di
Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers.
Wijayanto
dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi
Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta,
Gramedia.
Yuliandari,
2009, Asas-Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan,
Jakarta, Rajawali Pers.
Jurnal
Irfan
Nur Rahman, “Politik Hukum Pengaturan Right
to Vote and Right to be Candidate dalam Undang-Undang Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013.
Syukri
Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi
Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013.
Rujukan
Elektronik
Jimly
Asshiddiqie, “Sejarah Constitutional
Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/ sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/),
diakses pada tanggal 14 April 2014.
Mahfud
MD, Moh. “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009, (http://www.mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf),
diakses pada tanggal 1 April 2014.
Maruarar
Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di
Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/),
diakses pada tanggal 17 Mei 2014.
[1] Moh.
Mahfud MD, 2010, Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 88
[2] HAW,
Widjaya, 2005, Penyelenggaraan Otonomi di
Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 69
[3] Ridwan
HR, 2006, Hukum Administrasi Negara
(Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 138
[4] Undang-Undang
Dasar 1945 sebelum amandemen atau perubahan
[5] Jimly
Asshiddiqie, “Sejarah Constitusional Review dan Gagasan Pembentukan Mahkamah Konstitusi”,
(http://www.jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan-pembentukan-mk/) diakses pada tanggal 14 April 2014
[6] Mahfud
MD, Op.Cit, Membangun Politik… hlm. 128
[7] Ibid, hlm. 125-127
[8] Mahfud
MD, “MK dan Politik Perundang-Undangan di Indonesia”, 2009, (http://www.
mahfudmd.com/public/makalah/Makalah_4.pdf),
diakses terakhir pada tanggal 1 April 2014
[9] Hans
Kelsen, 2007, Teori Umum Hukum dan
Negara: Dasar-Dasar Ilmu Hukum Normatif Sebagai Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik,
Jakarta, Bee Media Nusantara, hlm. 332-333
[10] Mahfud
MD, 2010, Perdebatan Hukum Tata Negara
Pasca Amandemen Konstitusi, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 75
[11] Wijayanto
dan Ridwan Zachrie, 2009, Korupsi
Mengorupsi Indonesia: Sebab, Akibat, dan Prospek Pemberantasan, Jakarta,
Gramedia, hlm. 505-506
[12] Mahfud
MD, Op.Cit. Membangun Politik…, hlm 134
[13] Frasa
“dan magister” tersebut telah dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal
18 Oktober 2011
[14] Frasa
“dan/atau pernah menjadi pejabat negara tersebut telah dinyatakan bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat, berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 49/PUU-IX/2011 tanggal 18 Oktober 2011
[15] Luhut M.
P. Pangaribuan, 2008, Hukum Acara Pidana:
Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat (Praperadilan, Eksepsi, Pledoi,
Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali); Edisi Revisi Maret 2008,
Jakarta, Djambatan, hlm. 19
[16] Jimly
Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum
Tata Negara: Jilid I, Jakarta, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia
[17] Maruarar
Siahaan, “Check And Balances dan Judicial: Review dalam Legislasi di
Indonesia”, 2012, (http://www.jimlyschool.com/read/analisis/333/checks-and-balances-dan-judicial-review-dalam-legislasi-di-indonesia/), diakses pada tanggal 17 Mei 2014
[18] Saldi
Isra, 2010, Disertasi: Pergeseran Fungsi
Legislasi (Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial
Indonesia), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 293
[19] Mahfud
MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia,
Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 348
[20]Bagir
Manan, 2009, Yuliandari dalam buku:
Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik: Gagasan
Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan, Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 24
[21] Loc.Cit
[22] Mahfud
MD, Op.Cit, Politik Hukum…, hlm 363
[23] Irfan Nur
Rahman, Politik Hukum Pengaturan Right to Vote and Right to be Candidate dalam
Undang-Undang Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi, Jurnal Mahkamah Konstitusi, Volume 10 Nomor 2, Juni 2013, hlm. 313
[24] Syukri
Asy’ari, Meyrinda Rahmawaty Hilipito, Mohammad Mahrus Ali, Model dan
Implementasi Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Undang-Undang (Studi
Putusan Tahun 2003-2012), Jurnal Mahkamah
Konstitusi, Volume 10 Nomor 4, Desember 2013, hlm. 679
[25] AV Divey,
1999, dalam Dahlan Thaib (et.al): Teori
dan Hukum Konstitusi (Edisi Ketiga, 2011), Jakarta, Rajawali Pers, hlm. 121
[26] Dahlan
Thaib (et.al), Ibid, hlm. 125
Tidak ada komentar:
Posting Komentar