Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Implementasi Perjanjian Internasional yang Diratifikasi di Indonesia


Theodore Levitt memperkenalkan istilah “globalisasi” pada tahun 1985 mengenai politik-ekonomi, terkhusus politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan. Dalam sederhananya, globalisasi dapat diartikan sebagai akselerasi di segala bidang dan menembus batas-batas wilayah kedaulatan negara akibat dari perjanjian-perjanjian internasional.

Perjanjian internasional memainkan peranan penting dalam mengatur hidup dan hubungan antar negara dalam masyarakat internasional. Dalam dunia yang ditandai saling ketergantungan pada era global ini, tidak ada satu negarapun yang tidak mempunyai perjanjian dengan negara lain dan tidak diatur dalam perjanjian internasional[1]. Dalam pengertian sempit, maka perjanjian internasional dapat dianalogikan dalam bentuk hubungan antar warga dalam satu lingkungan Rukun Tetangga (RT), yang mana tiap-tiap keluarga di dalam lingkungan RT tersebut sebagai negara. Tentunya tiap-tiap keluarga saling membutuhkan satu sama lain di dalam lingkungan RT tersebut.
 Perjanjian-perjanjian internasional yang disepakati oleh subyek-subyek hukum internasional (dalam hal ini negara) tentunya akan mengalami perubahan-perubahan di dalam klausul-klausulnya maupun substansi dari perjanjian internasional itu sendiri seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan tiap-tiap subyek yang mengikatkan diri dalam perjanjian internasional itu.
Salah satu bentuk perjanjian internasional yang digunakan oleh masyarakat internasional adalah traktat (treaty). Dalam Pasal 2 Konvensi Wina tahun 1969 dinyatakan, “Treaty means an international agreement concluded between states in written form governed by internasional law, whether embodied in a single instrument or two or more related instruments and whatever is particular designation“. Yang dalam pengertian sederhana dapat diartikan bahwa traktat merupakan persetujuan negara-negara sebagai subyek hukum internasional dalam bentuk tulisan atau tertulis. Sehingga, persetujuan internasional yang dalam bentuk lisan tidak dapat dikatakan sebagai sebuah traktat meskipun terdapat sebuah kewajiban internasional.
Untuk memberlakukan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional, maka diperlukanlah proses ratifikasi sebagai langkah hukum sebagaimana yang telah berlaku di masyarakat internasional, dan Indonesia seperti yang telah diamanatkan dalam undang-undang.

 
PEMBAHASAN

A. Ratifikasi
Model-model perjanjian internasional terdiri atas beberapa macam, sebagaimana menurut Mochtar, di antaranya adalah Traktat (Treaty), Pakta (Pact), Konvensi (Convention), Piagam (Statute), Charter, Deklarasi, Protokol, Arrangement, Accord, Modus Vivendi, Covenant, dan lain sebagainya[2].
Pengesahan model perjanjian-perjanjian internasional tersebut harus melalui tahapan-tahapan, seperti perundingan (negotiation), penandatanganan (signature), pengesahan/ratifikasi (ratification), persetujuan (approval), penerimaan (acceptance), dan pernyataan turut serta (accesion). Dan pernyataan mengikatkan diri pada perjanjian internasional sebagaimana yang diatur dalam Artikel 11 Konvensi Wina Tahun 1969 bahwa “The consent of a State to be bound by a treaty may be expressed by signature, exchange of instruments constituting a treaty, ratification, acceptance, approval or accession, or by any other means if so agreed”.
Dalam peraturan perundang-undangan Republik Indonesia sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Di dalam undang-undang tersebut mengatur tentang jenis hierarki peraturan perundang-undangan. Pada Pasal 7 ayat (1) mengatur sebagai berikut:
a.       Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD ’45);
b.      Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR);
c.       Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (UU/Perppu);
d.      Peraturan Pemerintah (PP);
e.       Peraturan Presiden (Perpres);
f.       Peraturan Daerah Provinsi (Perda Provinsi); dan
g.      Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (Perda Kabupaten/Kota).
Dari seluruh peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia, Undang-Undang dan Keputusan Presiden yang dibenarkan untuk mengesahkan perjanjian internasional, sebagaimana yang ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Ketentuan tersebut dapat dikatakan sebagai lanjutan dari Pasal 10 ayat (1) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan bahwa “Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi: pengesahan perjanjian internasional tertentu”, dan Pasal 11 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional bahwa “Pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10, dilakukan dengan keputusan presiden”.
Di Indonesia pun telah mengatur mengenai perjanjian internasional sebagaimana yang telah diundangkan dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Yang mana di dalam undang-undang tersebut mengatur mengenai hal-hal yang diperkenankan untuk disahkan/ diratifikasi (Pasal 10), seperti:
a.       masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
b.      perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
c.       kedaulatan atau hak berdaulat negara;
d.      hak asasi dan lingkungan hidup;
e.       pembentukan kaidah hukum baru;
f.       pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
Artinya, di Indonesia, selain hukum nasional, berlaku pula hukum perjanjian internasional tertentu. Perjanjian Internasional adalah perjanjian antara subyek-subyek hukum internasional yang menimbulkan hak dan kewajiban menurut hukum internasional[3]. Dan perjanjian internasional baru dapat dinyatakan berlaku atau mengikat bagi para pihak (pihak dalam hal ini adalah negara) jika telah melalui tahap ratifikasi/pengesahan.
Dari apa yang sudah disebutkan di atas, tentunya dalam tiap undang-undang yang lahir melalui proses ratifikasi (perjanjian internasional) selalunya berkaitan dengan banyak peraturan perundang-undangan yang lainnya. Maka tentunya, perjanjian internasional dapat mempengaruhi hukum nasional negara-negara yang terlibat di dalamnya, baik pada sisi hukum maupun kedaulatan negara itu sendiri.

B. Implementasi Ratifikasi di Indonesia
Indonesia telah meratifikasi banyak perjanjian internasional dalam bentuk Undang-Undang maupun Keputusan Presiden, dan yang terakhir adalah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tentang Pengesahan Nagoya Protocol On Access To Genetic Resources And The Fair And Equitable Sharing Of Benefits Arising From Their Utilization To The Convention On Biological Diversity (Protokol Nagoya Tentang Akses Pada Sumber Daya Genetik Dan Pembagian Keuntungan Yang Adil Dan Seimbang Yang Timbul Dari Pemanfaatannya Atas Konvensi Keanekaragaman Hayati).
Adapun terdapat banyak undang-undang yang memiliki kaitan dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tersebut di atas seperti:

  1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria;
  2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya;
  3. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman;
  4. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan;
  5. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati;
  6. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan;
  7. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
  8. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional;
  9. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman;
  10. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem Nasional Penelitian Pengembangan Dan Penerapan Ilmu Pengetahuan Dan Teknologi;
  11. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan;
  12. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan;
  13. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
  14. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil;
  15. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2006 tentang Pengesahan International Treaty On Plant Genetic Resources For Food And Agriculture (Perjanjian Mengenai Sumber Daya Genetik Tanaman Untuk Pangan Dan Pertanian);
  16. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2009 tentang Peternakan Dan Kesehatan Hewan;
  17. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
  18. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan;
  19. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan;
  20. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan.

Atau secara sederhananya, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2013 tersebut menyangkut tentang Agraria, Perikanan, Kelautan, Perairan, Batas Wilayah Kedaulatan, Pertahanan Keamanan Nasional, Kesehatan, Lingkungan Hidup, Hutan, Perencanan Hutan, Penataan Ruang dan Wilayah, Air, Rawa, Sungai, Dana Reboisasi, dan Reklamasi Hutan.
Secara garis besar, penulis menemukan dua pokok utama dari berbagai bentuk perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia, yakni mengenai hak asasi manusia dan lingkungan hidup. Sedangkan jika disederhanakan lagi, hak asasi dan lingkungan hidup memiliki satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan dalam hidup dan kehidupan manusia, atau antara manusia dengan alam yang merupakan ciptaan dari Sang Pencipta. Meskipun di dalam Undang-Undang Dasar 1945 telah mengatur mengenai hal tersebut seperti yang terdapat pada Pasal 27, Pasal 28A, Pasal 29B, Pasal 29C, Pasal 29D, Pasal 29E, Pasal 29F, Pasal 29G, Pasal 29H, Pasal 29I, dan Pasal 29J.
Dari kedua pokok utama tersebut, terdapat banyak turunannya. Pada pokok utama hak asasi manusia, terdapat Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang baru diundangkan pada tahun 1999 setelah Universal Declaration of Human Rights atau Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia didengungkan oleh masyarakat internasional pada tanggal 10 Desember 1948, dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.
Di sisi implementasi ratifikasi, terjadi pertentangan antara peraturan perundang-undangan yang berlaku. Meskipun Indonesia telah mengakui hak asasi manusia dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, salah satu ketentuan pada Undang-Undang Dasar 1945 masih melanggar, yakni mengenai “Presiden Indonesia ialah orang Indonesia asli”, pada Pasal 6 ayat (1). Sebelum akhirnya diubah pada amandemen ketiga pada tanggal 9 November 2001 menjadi “Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden”, pada pasal yang sama. Perjuangan penegakan hak asasi manusia yang menegasikan yang bukan keturunan asli peribumi yang pernah digaungkan oleh Yap Thiam Hien pada Sidang Konstituante 12 Mei 1959[4].
Selain pertentangan antar peraturan perundang-undangan, di sisi implementasi peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi perlindungan anak sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Konvensi Hak-Hak Anak pada 20 November 1989 (telah diamandemen oleh resolusi Majelis Umum 50/155 tanggal 21 Desember 1995) yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa “Perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi, secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Kemudian pada Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa “Perlindungan anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera”.
Namun dari fakta yang pernah ditemukan oleh penulis ketika bertugas sebagai petugas Satuan Pengamanan Pemasyarakatan pada Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Klas IIB Nunukan di antara bulan April 2011 hingga Januari 2012 bahwa hak-hak anak sebagaimana yang diatur Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya yang telah diatur. Dimana anak-anak yang menjadi bagian dari Warga Binaan Pemasyarakatan Lapas Klas IIB Nunukan menjadi pesuruh (mencuci pakaian, mengangkat air, dan lain sebagainya) bagi Warga Binaan lainnya yang lebih tua (golongan bukan anak), bahkan oleh petugas blok maupun pejabat seperti kepala pengamanan Lapas itu sendiri. Sedangkan pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan mengatur tentang hak-hak anak yang tidak bertentangan dengan Konvensi Hak-Hak Anak yang telah diratifikasi.
Pada pokok utama lingkungan hidup, ada banyak perjanjian internasional yang telah diratifikasi Indonesia dalam bentuk Undang-Undang maupun Keputusan Presiden. Pada dasarnya, dalam Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 menjelaskan bahwa “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”, yang memberikan makna bahwa untuk memenuhi perintah tersebut pemerintah harus menyediakan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Yang kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai pembaruan dari Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Sudah ada 10 daerah di Indonesia yang telah melaksanakan kebijakan dan program pengelolaan daerah pesisir dengan membuat Perda tentang pesisir sesuai dengan karakteristiknya masing-masing, seperti Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara, Kabupaten Gorontalo, Kabupaten Minahasa, Kabupaten Tanjung Jabung Barat, Kota Waringin Timur, Kabupaten Maros, Kabupaten Konawe, dan Kabupaten Bitung[5], sebagai kelanjutan dari amanah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil. Namun wilayah pesisir pantai utara semakin terkikis karena lambatnya pemerintah daerah dalam mengeksekusi amanah tersebut. Terkikisnya wilayah pesisir utara jawa diakibatkan oleh pembangunan infrastruktur fisik seperti pemecah gelombang (breakwater), dan penahan gelombang. Semakin terkikisnya wilayah pesisir Pantai Utara Jawa karena abrasi jelas akan menghilangkan aset masyarakat dan daerah. Karena itu mangrove center dan Perda tentang pesisir mendesak untuk diwujudkan[6].
Hal tersebut memang tidak berhubungan secara langsung mengenai ratifikasi. Tapi dengan terjadinya pembiaran terhadap pembangunan pemecah gelombang dan penahan gelombang tentunya akan mengganggu kehidupan hayati di daerah pesisir yang umumnya dipenuhi oleh kawasan mangrove sebagaimana yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati.
 

KESIMPULAN
Dari apa yang sudah disebutkan di atas, tentunya dalam tiap undang-undang yang lahir melalui proses ratifikasi (perjanjian internasional) selalunya berkaitan dengan banyak peraturan perundang-undangan yang lainnya. Maka tentunya, perjanjian internasional dapat mempengaruhi hukum nasional negara-negara yang terlibat di dalamnya, baik pada sisi hukum maupun kedaulatan negara itu sendiri.
Di sini para legislator yang merumuskan peraturan perundang-undangan yang berasal dari perjanjian internasional harus dapat memilah-milah tiap perjanjian internasional yang diikuti, dan pengesahan perjanjian internasional tersebut agar dapat sesuai dengan kearifan lokal di negara yang meratifikasi perjanjian internasional tersebut. Sehingga bahaya-bahaya neo-kolonialisme yang implisit yang berbentuk gerakan-gerakan neo-liberalisme, neo-kapitalisme, terorisme yang menggandeng agama, yang dalam bentuk kerjasama antar negara, yang dapat menggerogoti seluruh sumber daya alam dalam suatu negara dapat dihalau. Tidak hanya itu, pengundangannya pun harus memperhatikan peraturan perundang-undangan lainnya agar tidak bertentangan satu dengan yang lain. Selain itu, legislator juga perlu memperhatikan urgensi sebuah perjanjian internasional terhadap gerak dinamika bangsanya, maupun kebutuhan-kebutuhan yang secara obyektif memang sangat diperlukan secepatnya.
Selain itu, legislator juga patut mempertimbangkan bagaimana cara pelaksanaannya dan cara pengawasan dari pelaksanaan perjanjian internasional yang hendak diratifikasi. Agar tidak hanya sekadar mengundangkan atau mengesahkan saja, tapi juga terdapat kesesuaian di substansinya, dan tidak tampak setengah hati dalam melaksanakannya.

 
DAFTAR PUSTAKA

1.      Boer Mauna, 2000:82
2.      Ines Thioren Situmorang, SH, LL.M, Sumber Hukum Internasional, dalam materi kuliah Hukum Internasional dengan format Microsoft Power Point pada perkuliahan semester genap tahun ajaran 2012-2013 kelas B
3.      Seri Buku Tempo, 2013, Yap Thiam Hien, 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan,  Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 51-56
4.      Koran Kompas, 27 Februari 2007
5.      Muh. Khamdan, 2012, Negosiasi Hukum Dan Politik, Kudus, Paradigma Institut, hlm. 133, sebagaimana telah dimuat pula dalam koran Harian Rakyat Merdeka tanggal 15 Oktober 2009



[1] Boer Mauna, 2000:82
[2] Ines Thioren Situmorang, SH, LL.M, Sumber Hukum Internasional, dalam materi kuliah Hukum Internasional dengan format Microsoft Power Point pada perkuliahan semester genap tahun ajaran 2012-2013 kelas B
[3] Ines Thioren Situmorang, SH, LL.M, Sumber Hukum Internasional, dalam materi kuliah Hukum Internasional dengan format Microsoft Power Point pada perkuliahan semester genap tahun ajaran 2012-2013 kelas B
[4] Seri Buku Tempo, 2013, Yap Thiam Hien, 100 Tahun Sang Pendekar Keadilan,  Jakarta, KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), hlm. 51-56
[5] Kompas, 27 Februari 2007
[6] Muh. Khamdan, 2012, Negosiasi Hukum Dan Politik, Kudus, Paradigma Institut, hlm. 133, sebagaimana telah dimuat pula dalam koran Harian Rakyat Merdeka tanggal 15 Oktober 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar