Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Hukum Perikatan

1. Prinsip-prinsip umum dalam hukum perikatan

    Perkataan “perikatan” (verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “perjanjian”. Adapun yang dimaksudkan dengan “perikatan” dalam Buku III BW, ialah: “Suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan memenuhi tuntutan itu”. “Perikatan” merupakan pengertian yang abstrak, sedangkan suatu “perjanjian” adalah peristiwa hukum yang kongkrit.
    Dalam Buku III BW mengatur perihal hubungan-hubungan hukum antara orang dengan orang (hak perseorangan), meskipun mungkin yang menjadi obyek juga suatu benda. Dan sifat-sifat yang terdapat dalam buku ini selalu berupa suatu tuntut-menuntut. Dengan kata lain, Buku III BW, selain dinamakan hukum perikatan atau hukum perjanjian, biasa juga dinamakan sebagai “hukum perutangan”. Pihak yang berhak menuntut dinamakan sebagai pihak berpiutang atau “kreditur”, sedangkan pihak yang wajib memenuhi tuntutan dinamakan pihak berhutang atau “debitur”. Adapun sesuatu yang dapat dituntut dinamakan “prestasi”, yang menurut undang-undang dapat berupa:

1)      menyerahkan suatu barang;
2)      melakukan suatu perbuatan;
3)      tidak melakukan suatu perbuatan.

Apabila ada di antara salah satu syarat di atas tidak dipenuhi, maka dinamakan “WANPRESTASI”. Dan dapat menyebabkan orang yang melakukan wanprestasi tersebut dapat digugat di depan hakim.

    Buku III BW juga terdiri atas suatu bagian umum dan suatu bagian khusus. Pada bagian umum memuat peraturan-peraturan yang berlaku bagi perikatan pada umumnya, misalnya tentang bagaimana lahir dan hapusnya perikatan, macam-macam perikatan dan sebagainya. Sedangkan bagian khusus memuat peraturan-peraturan mengenai perjanjian-perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu, misalnya jual-beli, sewa-menyewa, perjanjian perburuhan, pemberian (schenking) dan sebagainya.

   Buku III BW menganut asas “kebebasan” dalam hal membuat perjanjian (beginsel der contractsvrijheid), dan sistem  “terbuka”. Asas “kebebasan” dapat disimpulkan dari pasal 1338, yang menerangkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dan dapat ditarik kesimpulan, bahwa orang diberikan keleluasaan untuk membuat perjanjian apa saja, asal tidak melanggar ketertiban umum dan kesusilaan. Sedangkan sistem “terbuka” merupakan sebaliknya dari yang dianut oleh Buku II perihal hukum perbendaan. Di situ orang tidak diperkenankan membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain yang diatur dalam BW sendiri. Di situ dianut suatu sistem “tertutup”. Dengan kata lain, peraturan-peraturan yang ada dalam Buku III BW, pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap” (aanvulend recht), bukan hukum keras atau hukum yang memaksa.

2. Ketentuan-ketentuan umum dalam hukum perikatan

     Suatu perikatan dapat lahir dari undang-undang atau dari perjanjian. Perikatan yang lahir dari undang-undang dapat dibagi lagi atas:

1)      Yang lahir dari undang-undang saja.
     Maksud dari perikatan-perikatan yang lahir dari undang-undang saja ialah perikatan-perikatan yang timbul oleh hubungan kekeluargaan.

     Perikatan yang lahir dari undang-undang karena suatu perbuatan yang diperbolehkan ialah yang dinamakan “Zaawaarneming” (pasal 1354 BW). Ini terjadi jika seorang dengan sukarela dan dengan tidak diminta, mengurus kepentingan-kepentingan orang lain. Perikatan ini juga timbul jika seorang melakukan suatu “pembayaran yang tidak diwajibkan” (pasal 1359 BW). Perbuatan yang demikian ini, menerbitkan suatu perikatan, yaitu memberikan hak kepada orang yang telah membayar itu untuk menuntut kembali apa yang telah dibayarkan dan  meletakkan kewajiban di pihak lain untuk mengembalikan pembayaran-pembayaran itu.

2)      Yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang, sedangkan perbuatan ini dapat berupa perbuatan yang diperbolehkan, atau yang melanggar hukuman (onrechtmatig).
     Perihal perikatan yang lahir dari undang-undang karena perbuatan seorang yang melanggar hukum, diatur dalam pasal 1365 BW. Pasal ini menetapkan, bahwa tiap perbuatan yang melanggar hukum (“onrechtmatige daad”) mewajibkan orang yang melakukan perbuatan itu, jika karena kesalahannya telah menimbulkan kerugian, untuk membayar kerugian itu. Onrechtmatige daad pada mulanya memiliki arti, “hanyalah perbuatan-perbuatan yang melanggar undang-undang atau sesuatu hak (subjectief recht) orang lain saja. Yang kemudian telah berubah sejak tanggal 31 Januari 1919 oleh seorang ahli hukum bernama Hoge Raad, yaitu, tidak saja perbuatan yang melanggar hukum atau hak orang lain, tetapi juga tiap perbuatan yang berlawanan dengan “kepatutan yang harus diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap pribadi atau benda orang lain.” Putusan Hoge Raad itu begitu penting, hingga dipersamakan dengan suatu revolusi dalam dunia kehakiman. Banyak sekali perbuatan yang dulu tidak dapat digugat di depan hakim, sekarang oleh hakim diartikan sebagai “onrechtmatig”: jika dapat dibuktikan bahwa dari kesalahan si pembuat kesalahan  itu telah timbul kerugian pada seorang lain, maka si pembuat kerugian itu akan dihukum untuk mengganti kerugian itu.

     Menurut pasal 1367 BW, seseorang juga dipertanggungjawabkan perbuatan-perbuatan orang lain yang berada di bawah pengawasannya atau yang bekerja padanya. Lazimnya pada pasal ini diartikan terbatas (“limitatief”), yaitu seseorang dapat dipertanggungjawabkan perbuatan orang lain, hanya dalam hubungan-hubungan dan hal-hal sebagai berikut:

a.       orang tua atau wali untuk anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan mereka melakukan kekuasaan orang tua atau perwalian itu padanya;
b.      majikan atau buruhnya, dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan pada mereka;
c.       guru sekolah dan kepala tukang untuk murid dan tukangnya selama mereka ini berada di bawah pengawasan mereka.

Sedangkan perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian harus memenuhi empat syarat agar dapat dikatakan sah, ialah:
1)      Perizinan yang bebas dari orang-orang yang mengikatkan diri;
2)      Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian;
3)      Suatu hal tertentu yang diperjanjikan;
4)      Suatu sebab (oorzaak) yang halal, artinya tidak terlarang (pasal 1320 BW)

     Yang diperjanjikan dalam suatu perjanjian haruslah suatu hal atau suatu barang yang cukup jelas atau tertentu, dan harus ditentukan jenis dan jumlahnya dalam perjanjian. Syarat ini perlu, untuk dapat menetapkan kewajiban si berhutang, jika terjadi perselisihan. Semua perjanjian yang dibuat haruslah dilaksanakan dengan itikad baik, tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan (Pasal 1338 BW). Selanjutnya undang-undang menghendaki untuk sahnya suatu perjanjian harus ada suatu oorzaak (Causa) yang diperbolehkan. “Oorzaak” atau “causa” dalam arti tujuan, yaitu apa yang dikehendaki oleh kedua pihak dalam perjanjian tersebut. Atau dengan kata lain “oorzaak” atau “causa” berarti: isi perjanjian itu sendiri. Menurut pasal 1335 BW, suatu perjanjian yang tidak memakai suatu causa atau dibuat dengan suatu causa palsu atau terlarang, tidak mempunyai kekuatan. Adapun suatu causa yang tidak diperbolehkan atau dilarang oleh undang-undang adalah kesusilaan atau ketertiban umum.

     Perlu diperhatikan, causa yang dimaksudkan dalam pasal 1335 BW dan pasal 1336 BW, adalah berbeda. Dalam pasal 1335 BW sudah dijelaskan di atas, sedangkan pasal 1336 BW, perkataan causa berarti: kejadian yang menyebabkan terjadinya suatu hutang.

     Kedua belah pihak dalam suatu perjanjian, harus mempunyai kemauan yang bebas untuk mengikatkan diri dan kemauan itu harus dinyatakan. Pernyataan dapat dilakukan dengan tegas atau secara diam-diam. Kemauan yang bebas sebagai syarat pertama untuk suatu perjanjian perjanjian yang sah dianggap tidak ada jika perjanjian itu telah terjadi karena:
a)      Paksaan (dwang)
Paksaan dapat terjadi, jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan sebagai suatu paksaan.
b)      Kekhilafan (dwaling)
Kekhilafan dapat terjadi, mengenai orang atau mengenai barang yang menjadi tujuan pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Kekhilafan mengenai orang, terjadi misalnya jika seorang manajer sebuah klub sepakbola membuat kontrak dengan orang yang dikiranya seorang pesepakbola kesohor di negara si pesepakbola tersebut, tetapi kemudian ternyata bukan orang yang dimaksud. Hanya namanya saja yang kebetulan sama. Kekhilafan mengenai barang terjadi misalnya jika orang membeli sebuah baju dari seorang penyanyi legendaris yang dikiranya baju Klaus Meine, vokalis band Scorpions, tetapi ternyata kemudian terbukti sang penjual salah menjual dikarenakan baju tersebut serupa dengan baju lain yang bukan biasa dipakai oleh sang legendaris.
c)      Penipuan (bedrog)
Penipuan terjadi apabila satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang tidak benar, disertai dengan kelicikan-kelicikan, sehingga pihak lain terbujuk karenanya untuk memberikan perizinan.

     Jika perizinan telah diberikan tidak secara bebas atau salah satu pihak tidak cakap untuk membuat perjanjian, maka perjanjian tersebut dinyatakann cacat., karenanya dapat dibatalkan oleh hakim atas permintaan pihak yang telah memberikan perizinannya tidak secara bebas atau tidak cakap untuk membuat perjanjian itu (vernietigbaar). Sebaliknya, orang yang meminta pembatalan perjanjian itu, juga dapat menguatkan perjanjian tersebut. Penguatan tersebut dapat dilakukan dengan tegas (vitdrukkelijk) atau secara diam-diam, tentu tergantung pada keadaan. Setiap perjanjian bilateral selalu dianggap telah dibuat dengan syarat, bahwa kelalaian salah satu pihak akan mengakibatkan pembatalan perjanjian. Pembatalan tersebut harus dimintakan pada hakim.

Ada beberapa perjanjian- perjanjian khusus yang penting, antara lain:
       I.      Perjanjian jual-beli
Perjanjian jual beli adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan hak milik atas sesuatu barang, sedang pihak lainnya menyanggupi akan membayar sejumlah uang sebagainya.

    II.      Perjanjian sewa-menyewa
Ini adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu menyanggupi akan menyerahkan satu benda untuk dipakai selama suatu jangka tertentu, sedangkan pihak lainnya menyanggupi akan membayar harga yang telah ditetapkan untuk pemakaian itu pada waktu-waktu yang ditentukan. Pihak penyewa memikul dua kewajiban pokok, yaitu:
1.      Membayar uang sewa pada waktunya; dan
2.  Memelihara barang yang disewa sebaik-baiknya, seolah-olah barang miliknya sendiri.

 III.      Pemberian atau hibah (schenking)
Menurut pasal 1666 BW, yang dinamakan “pemberian” (schenking) adalah suatu perjanjian (obligatoir), di mana pihak yang satu menyanggupi dengan cuma-cuma (om niet) dengan secara mutlak (on herroepelijk) memberikan suatu benda pada pihak yang lainnya, pihak mana yang menerima benda itu, dan tidak dapat dicabut kembali begitu saja menurut satu pihak.

 IV.      Persekutuan (maatschap)
Persekutuan (maatschap) adalah suatu perjanjian di mana beberapa orang bermufakat untuk bekerja bersama dalam lapangan ekonomi, dengan tujuan membagi keuntungan yang akan diperoleh.

    V.      Penyuruhan (lastgeving)
Penyuruhan adalah suatu perjanjian di mana pihak yang satu (lastgever) memberikan perintah kepada pihak yang lain (lasthebber) untuk melakukan suatu perbuatan hukum, perintah mana oleh yang belakangan ini. Perjanjian Penyuruhan dapat juga dikatakan salah satu sumber perbuatan-perbuatan hukum.

 VI.      Perjanjian pinjam
Oleh undang-undang diperbedakan antara:
1.      Perjanjian pinjam barang yang tak dapat diganti (bruiklening)
Hak milik atas barang yang dipinjamkan  tetap berada pada pemiliknya, yaitu pihak yang meminjamkan barangnya. Selama waktu peminjaman, si peminjam harus memelihara barang tersebut sebaik-baiknya, seolah-olah barang milik sendiri (als een goed huisvader) dan sehabis waktu peminjaman ia harus mengembalikannya dalam keadaan semula. Biaya serta perbaikan kecil harus dipikul si peminjam, biaya perbaikan besar harus dipikul si pemilik barang.
2.      Perjanjian peminjaman barang yang dapat diganti
Di sini barang yang diserahkan untuk dipinjam itu menjadi miliknya si peminjam, sedangkan pihak yang meminjamkan memperoleh suatu hak penuntutan (piutang) terhadap si peminjam untuk mengembalikan sejumlah barang yang sama jumlah kualitetnya.


VII.      Penanggungan hutang (borgtocht)
Penanggungan hutang adalah suatu perjanjian di mana satu pihak (borg) menyanggupi pada pihak lainnya (seorang berpiutang), bahwa ia menanggung pembayaran suatu hutang, apabila si berhutang tidak menepati kewajibannya.
Seorang “borg” mempunyai dua hak yang penting:
1.    Ia berhak, jika ditagih, meminta supaya si berpiutang menuntut si berhutang terlebih dahulu, jika perlu dengan menyita kekayaan si berhutang itu (voorrecht van eendere uitwinning); dan
2. Jika ada beberapa orang bersama-sama menanggung satu hutang, ia berhak supaya pembayaran dipikul bersama-sama dengan teman-temannya, hingga ia hanya membayar bagiannya sendiri saja (voorrecht van schuldsplitsing).

VIII.      Perjanjian perdamaian (dading atau compromis)
Ini adalah suatu perjanjian di mana dua pihak membuat suatu perdamaian untuk menyingkirkan atau mengakhiri suatu perkara, dalam perjanjian mana masing-masing melepaskan sementara hak-hak atau tuntutannya. Perjanjian semacam ini harus diadakan tertulis, jadi tidak boleh secara lisan saja,

 IX.      Perjanjian kerja (perburuhan)
Perjanjian kerja dalam arti kata yang luas dapat dibagi dalam:
a.       perjanjian perburuhan yang sejati (arbeids-overeenkomst);
b.      pemborongan pekerjaan (aaneming van werk),
ialah suatu perjanjian, di mana satu pihak menyanggupi untuk keperluan pihak lainnya, melakukan suatu pekerjaan tertentu dengan pembayaran upah yang ditentukan pula; dan
c.     perjanjian untuk melakukan suatu jasa atau pekerjaan terlepas (overeenkomst tot het verrichten vsn enkele diensten).
         Suatu perjanjian perburuhan yang sejati mempunyai sifat-sifat khusus yang berikut:
  1. Ia menerbitkan suatu hubungan diperatas, yaitu suatu hubungan antara buruh dan majikan, berdasarkan mana pihak yang satu berhak memberikan perintah-perintah kepada pihak yang lain tentang bagaimana ia harus melakukan pekerjaannya;
  2. Selalu diperjanjikan suatu gaji atau upah, yang lazimnya berupa uang, tetapi ada juga yang (sebagian) berupa pengobatan dengan percuma, kendaraan, makan dan penginapan, pakaian dan lain sebagainya; dan
  3. Ia dibuat untuk suatu waktu tertentu atau sampai diakhiri oleh salah satu pihak.
    Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika juga dapat ditagih pembayarannya. Di samping bentuk yang paling sederhana itu, terdapat berbagai macam perikatan lain yang akan diuraikan satu persatu.

  1. Perikatan bersyarat (voorwaardelijk)
     Perikatan bersyarat adalah suatu perikatan yang digantungkan pada suatu kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi. Dari pengertian tersebut, dari ditarik suatu kesimpulan, yaitu “mungkin untuk memperjanjikan”. Mungkin untuk memperjanjikan yang pertama, bahwa perikatan itu akan lahir apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Suatu perjanjian yang demikian itu, menggantungkan adanya suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda atau mempertangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila si Jhon berjanji pada si Niko untuk membeli mobilnya kalau si Jhon lulus dari ujian, di sini dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya akan terjadi, kalau si Jhon lulus dari ujian. Mungkin untuk memperjanjikan yang kedua, suatu perikatan yang sudah akan berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Di sini dikatakan, perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan (ontbindende voorwaarde). Suatu contoh, misalnya suatu perjanjian: Yudi mengizinkan seorang mendiami rumahnya dengan ketentuan bahwa perjanjian itu akan berakhir apabila secara mendadak, Yudi diperhentikan dari pekerjaannya.

     Oleh undang-undang ditetapkan, bahwa suatu perjanjian sejak semula sudah batal (nietig), jika ia mengandung suatu ikatan yang digantungkan pada suatu syarat yang mengharuskan suatu pihak untuk melakukan suatu perbuatan yang sama sekali tidak mungkin dilaksanakan atau yang bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan.

  1. Perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu (tijdsbepaling)
     Perbedaan antara suatu syarat dengan suatu ketetapan waktu ialah yang pertama berupa suatu kejadian atau peristiwa yang belum tentu atau tidak akan terlaksananya, sedangkan yang kedua adalah suatu hal yang pasti akan datang, meskipun belum dapat ditentukan kapan datangnya, misalnya meninggalnya seseorang. Contoh suatu perikatan yang digantungkan pada suatu ketetapan waktu, banyak sekali dalam praktek, seperti perjanjian perburuhan, suatu hutang wesel yang dapat ditagih suatu waktu setelahnya dipertunjukkan dan lain sebagainya.

  1. Perikatan yang membolehkan memilih (alternatief)
     Ini adalah suatu perikatan, di mana terdapat dua atau lebih macam prestasi, sedangkan kepada si berhutang diserahkan yang mana ia akam lakukan. Misalnya, ia boleh memilih apakah ia akan memberikan mobil atau rumahnya atau uang tujuh puluh juta rupiah.

  1. Perikatan tanggung-menanggung (hoofdelijk / solidair)
     Ini adalah suatu perikatan di mana beberapa orang bersama-sama sebagai pihak yang berhutang berhadapan dengan satu orang yang menghutangkan, atau sebaliknya. Beberapa orang sama-sama berhak menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi perikatan semacam yang belakangan ini, sedikit sekali terdapat dalam praktek. Contoh perikatan tanggung-menanggung, jika dua orang Yoan dan Lidya secara tanggung-menanggung berhutang Rp. 250.000,- kepada Sari, maka Yoan dan Lidya masing-masing dapat dituntut membayar Rp. 250.000,-.

     Memang dari sudut si berpiutang, perikatan semacam ini telah diciptakan untuk menjamin piutangnya, karena jika satu orang tidak suka atau tidak mampu membayar hutangnya, ia selalu dapat meminta pembayaran dari yang lainnya.

     Bagaimanapun juga, perikatan semacam ini tidak boleh dianggap telah diadakan secara diam-diam, ia selalu harus diperjanjikan dengan tegas (uitdrukkelijk). Namun adakalanya juga perikatan tanggung-menanggung itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya dalam BW mengenai beberapa orang yang bersama-sama meminjam satu barang, mengenai satu orang menerima penyuruhan (lastgeving) dari beberapa orang. Dalam Wetboek van Kooptmidel (WvK) atau Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, mengenai suatu perseroan firma, di mana menurut undang-undang masing-masing persero bertanggung jawab sepenuhnya untuk seluruh hutang firma, atau mengenai suatu wesel, di mana semua orang secara berturut-turut telah mengendosirnya, masing-masing menanggung pembayaran hutang wesel itu untuk seluruhnya, jika penagihan kepada si berhutang menemui kegagalan.

  1. Perikatan yang dapat dibagi dan yang tidak dapat dibagi
     Apakah suatu perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula dari kehendak atau maksud kedua belah pihak yang membuat suatu perjanjian. Persoalan tentang dapat atau tidaknya dibaginya suatu perikatan, barulah tampil ke muka, jika salah satu pihak dalam perjanjian telah digantikan oleh beberapa orang lain.

     Pada asasnya –jika  tidak diperjanjikan orang lain– antara pihak-pihak yang semula suatu perikatan, tidak boleh dibagi-bagi, sebab si berpiutang selalu berhak menuntut pemenuhan perjanjian untuk sepenuhnya dan tidak usah ia menerima baik suatu pembayaran sebagian demi sebagian.

  1. Perikatan dengan penetapan hukuman (strafbeding)
     Perikatan ini dibuat untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja melalaikan kewajibannya, dengan hukuman sebagai ancamannya. Hukumannya biasa ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula telah ditetapkan sendiri oleh pihak yang membuat perjanjian itu. Dan hakim mempunyai kekuasaan untuk meringankan hukuman, apabila perjanjian sebahagian telah dipenuhi.

     Menurut pasal 1460 BW, dalam hal suatu perjanjian jual-beli mengenai suatu barang yang sudah ditentukan sejak saat ditutupnya, perjanjian barang itu sudah menjadi tanggungan si pembeli, meskipun ia belum diserahkan dan masih berada di tangan si penjual. Dengan demikian, jika barang itu hapus bukan karena salahnya si penjual, si penjual masih tetap berhak untuk menagih harga yang belum dibayar.

     Di dalam perjanjian, ada juga kemungkinan menggantikan hak-hak seorang berpiutang. Menggantikan hak-hak si berpiutang dinamakan sebagai “subrogatie”, yang diatur dalam pasal-pasal 1400 sampai dengan pasal 1403 BW. Subrogatie harus dibedakan dengan “cessie” (pemindahan suatu piutang), yang biasanya merupakan suatu akibat penjualan piutang itu. Dalam hal subrogatie, hutang telah terbayar lunas oleh seorang pihak ketiga. Hanya perikatan hutang-hutang masih hidup terus karena pihak ketiga itu lalu menggantikan hak-hak si berpiutang terhadap diri si berpiutang. Sedangkan Cessie, suatu perbuatan pemindahan suatu piutang kepada seorang yang telah membeli piutang itu. Subrogatie dapat terjadi karena ditetapkan oleh undang-undang (pasal 1402 BW). Antaranya disebutkan bahwa seorang pembeli suatu benda yang tak bergerak (persil) yang mempergunakan uang harga yang harus dibayarnya untuk melunasi hutang-hutang yang ditanggung dengan hypotheek atas benda itu, menggantikan hak-hak dari orang-orang yang menhutangkan yang telah menerima pembayaran pelunasan itu.

     Untuk dapat dikatakan suatu “keadaan memaksa” (overmacht atau force majeur), selain keadaan itu, di luar kekuasaanya si berhutang dan “memaksa”, keadaan yang telah timbul itu juga harus berupa suatu keadaan yang tidak dapat diketahui pada perjanjian itu dibuat, setidak-tidaknya tidak dipikul risikonya oleh si berhutang. Jika si berhutang berhasil dalam membuktikan adanya keadaan yang demikian itu, tuntutan si berhutang akan ditolak oleh hakimdan si berhutang terluput dari penghukuman, baik yang berupa penghukuman untuk memenuhi perjanjian, maupun penghukuman untuk membayar penggantian kerugian. Keadaan yang memaksa yang bersifat mutlak (absoluut), yaitu dalam halnya sama sekali tidak mungkin melaksanakan perjanjiannya (misalnya barangnya sudah hapus karena bencana alam). Ada juga yang bersifat tidak mutlak (relatief), yaitu berupa suatu keadaan di mana perjanjian masih dapat juga dilaksanakan, tetapi dengan pengorbanan-pengorbanan yang besar dari hak si berhutang.

3. Berakhirnya perikatan

Undang-undang menyebutkan delapan macam cara hapusnya perikatan (pasal 1381 BW), antara lain:
   1. Karena pembayaran
        Yang dimaksud dengan “pembayaran” oleh undang-undang adalah pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak denga paksaan atau eksekusi. Kata “pembayaran” tidak melulu ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut perjanjian.
   2. Penawaran pembayaran tunai diikuti oleh penyimpanan
      Suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran.
   3. Pembaharuan hutang
         Suatu pembuatan perjanjian baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru.
   4. Kompensasi atau perhitungan hutang timbal-balik
         Jika seorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada yang lainnya, maka hutang-piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Pada umumnya undang-undang tidak menghiraukan sebab-sebab yang menimbulkan suatu piutang. Hanya dalam pasal 1429 BW, disebutkan tiga kekecualian piutang-piutang yang tidak boleh diperhitungkan satu sama lain:
  1. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya barang miliknya dengan secara melawan hak telah diambil oleh pihak lawannya.
  2. Jika satu pihak menuntut dikembalikannya satu barang yang dititipkan atau dipinjamkan pada pihak lawan itu.
  3. Jikalau satu pihak menuntut dikembalikannya suatu tunjangan nafkah yang telah menjadi haknya.
   5. Pencampuran hutang
         Pencampuran hutang terjadi, misalnya jika si berhutang kawin dalam pancampuran kekayaan dengan si berpiutang atau jika si berhutang menggantikan hak-hak si berpiutang karena menajdi warisnya atau sebaliknya.
   6. Pembebasan hutang
         Suatu perjanjian baru di mana si berpiutang dengan suka rela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya.
   7. Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam perjanjian
           Menurut pasal 1444, jika suatu barang tertentu yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh Pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak  terang keadaannya, maka periakatan menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama  sekali di luar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya.
           Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama seandainya barang itu sudah berada di tangannya si berpiutang.
   8. Pembatalan perjanjian
          Sebagaimana telah diterngkan, perjanjian yang dibuat oleh orang-orang undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu pula yang dibuat karena paksaan, kekhilafan atau penipuan atau pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar