Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Ungkapan Perasaanku

Dahulu, aku orang yang kau benci. Seolah-olah, aku menjadi lawanmu ketika nampak sosokku di sekitarmu. Sosokku tampak angkuh kala itu, dan kerap tak beraturan dalam pengolahan kata-kata yang dituangkan. Itulah aku dengan segala keterlambatanku sehingga membuatku nampak menggemaskan jika melihat usia.

Kehadiranku di lingkunganmu bukan melalui tahap perencanaan yang matang, melainkan spontanitas. Namun, ketika kupelajari di saat awal kerjasama, aku merasa kau seperti anak yang hilang di dalam persekutuan yang kujalani. Berangkat dari hal itu, aku mulai membuat perencanaan supaya dapat menarikmu ke persekutuanku sehingga ilmu yang kau miliki dapat segera ditularkan kepada persekutuanku yang menurutku membutuhkan figur pemimpin sehat sepertimu.

Tak kunyana, dalam perjalanan menuju goal yang kuinginkan, kedekatan itu nampak berubah, tapi harus kuarahkan berkali-kali ke trek yang seharusnya. Apapun yang telah kita jalankan, semakin banyak air yang kau tuangkan ke dalam gelas. Kurasakan sangat dimanja, dan aku terlena oleh keindahannya. Kerap kau pecut aku untuk selalu bertahan, berjuang, tak kenal lelah.

Tatapanmu yang bengis kala menghardikku, benar-benar membakar semangatku untuk melakukan apa yang seharusnya kulakukan. Slalu kurindukan tatapan itu. Dan benar, eksperimen sepekan kala itu mencerminkan kehidupan kelak, di dalam batinku. Dimana komunikasi verbal maupun tubuh mulai terbentuk apik, guratan niat pun kerap sejalan.

Kini kau bersama orang yang kutawarkan kepadamu ketika dahulu engkau meminta jalan keluar atas pergumulan yang kau alami. Orang yang dari pertama kukenal kerap mengenyampingkan kehadiranku di manapun aku ada bersamanya. Berangkat dari prinsip “menerima dan siap kehilangan”. Entah, namun yang kudapatkan dari lingkunganku, itu adalah kebodohan terbesar.

Yang masih dalam pencarianku hingga kini, adalah menemukan titik dimana aku melepaskan semuanya. Titik yang tak berwujud.

Ingat di saat terakhir, ketika aku menjalankan tugas pelayanan setelah selesai mengikuti tes masa depan ke luar kota. Kuterima panggilanmu via ponsel di sore harinya. Ingin sekali rasanya segera bertemu tuk memelukmu setelah kudengar segala keluhanmu, sehingga membuatmu nyaman. Selain tugas itu, kekuatan ikatan lah yang membuatku untuk tidak bertindak gegabah. Meskipun diri ini memiliki hasrat yang kuat untuk memberontak merobohkan dinding itu. Solutif. Itulah yang terpatri di dalam otakku, meskipun berujung “kolaps”.

Tidak lain, kini hanya menunggu sambil mengintip keadaanmu melalui media apapun yang bisa kugunakan. Sampai nanti, kutahu bahwa Tuhan yang berkehendak lain dari apa yang kuinginkan, aku akan mulai berpaling darimu.

Pernah kau letakkan kepalamu di bahuku, nyaman kurasa. Pernah kau memelukku ketika ketakutan menghindari binatang kecil, bahagia rasanya bisa menjadi penolongmu. Pernah kau genggam tanganku kala kita melangkah bersama, tak ingin lepas yang kuinginkan. Suara tangismu di speaker handphone, membuat tubuhku merinding. Raut wajahmu ketika mengeluarkan keluh kesah yang kau alami, membuatku bekerja keras agar itu lekas pudar. Tatapanmu yang bengis, kerap kubalas dengan tatapan yang dalam, dan kutahu kau merasakan sesuatu yang indah ketika kubalas tatapanmu itu.

Tiap hari, tiap malam, hanya mengenang sejarah itu. Malam hanya sebagai tempat peleburan, siang menjadi rintangan dashyat dalam perjalananku. Di setiap sudut kerap hadir sosokmu, di setiap mengolah kata tuk berbicara kerap terselip namamu, kala mengkhayal pun nampak tatapanmu yang bengis itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar