Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Selebaran

SALAM PERGERAKAN, DAN HIDUP MAHASISWA!!

Seluruh bangsa yang menjadi penghuni jagat raya nan elok ini mengetahui, bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang majemuk, bangsa yang memiliki keanekaragaman budaya dan tradisi. Kemudian para wisatawan-wisatawan yang sudah melakukan kunjungan ke negeri ini pun sudah menikmati keindahan dari keanekaragaman yang kita miliki, mereka salut dan kita bangga. Namun ketika kesenian Reog Ponorogo yang sudah dikenal sejak zaman penjajahan diklaim oleh bangsa lain sebagai kesenian khas bangsanya, haruskah bangsa Indonesia legowo atas klaim tersebut??

Tentunya itu menjadi pekerjaan rumah bagi negara ini untuk melestarikan, dan hal itu dilengkapi dengan gerakan pro-aktif di pihak pemerintahan. Namun ternyata, bukan hanya itu yang menjadi pekerjaan rumah. Bencana Wasior di tanah Papua yang disinyalir kuat karena pembalakan liar. Di sisi lain, lagi-lagi, pemerintah tidak memperhatikan dan membenahi wilayah teritorialnya. Sudah sekian lama tanah Papua (yang sejak dulu diperjuangkan dengan berbagai cara agar tidak terpisah dari bagian NKRI) menjadi “marjinal land”, atau pulau yang terasingkan oleh mata pemerintah. Tidak hanya itu, Pulau Ambalat pun lenyap dari teritori.

Penangkapan dan penahanan pejabat saat melintasi perairan yang masih di dalam wilayah teritorial Indonesia yang dilakukan oleh kepolisian laut Malaysia terjadi dengan mudahnya. Menjamurnya kejadian pemukulan, penganiayaan, hingga pemerkosaan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di negara tetangga menjadi sajian yang lumrah di media elektronik tanah air.

Kisah pemukulan dan penikaman jemaat HKBP serta masalah antar umat beragama yang hanya “terapung” di daerah Bekasi. Kemudian kisah petualangan Front Pembela Islam (FPI) yang kerapkali bertindak sebagai aparat tak bersyarat, memperlihatkan secara eksplisit disfungsi ereksi dari kesatuan kepolisian.

Perampokan ala film action yang kerap menghiasi layar kaca, menjadi hal yang nyata ketika kita melirik ke kejadian perampokan Bank CIMB Niaga di Medan. Ditambah lagi dengan perampokan bersenjata oleh tiga orang yang terjadi di pulau Sumatera pekan ini.

Diundangkannya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 yang menggantikan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), tidak menyurutkan geliat para penanam modal asing untuk berinvestasi di negara ini. Undang-Undang tersebut yang digadang-gadang sebagai langkah maju hanyalah kedok semata, regulasi tersebut malah mematikan langkah para investor lokal. Selain keberadaan Undang-Undang tentang Penanaman Modal Asing yang membuat laju gerak para penanam modal asing, juga menjadi momok yang menakutkan bagi para investor lokal.

Kurikulum pendidikan nasional kerap berubah dengan mudahnya. Undang-Undang BHP memang dibatalkan, namun bukan berarti Undang-Undang Sidiknas yang kemudian berlaku kembali menjadi sebuah keuntungan. Ya, terlihat terjadi transparansi, akuntabilitas, dan ideal. Namun di situ peran negara sebagai pencetak produk-produk intelektual digantikan oleh masyarakat, dan masyarakat yang bermain di situ adalah mereka yang mencetak produk praktis seperti tenaga kerja. Hal ini memperingan kerja para elit-elit politik untuk melanggengkan kepentingan organisasi politiknya dalam percaturan politik tanah air. Dan yang perlu disadari, bahwa sektor pendidikan adalah sektor yang paling krusial dalam suatu negara.

Kemudian ungkapan subyektif  Susilo Bambang Yudoyono (SBY) pada pidatonya mengenai penundaan keberangkatan ke Belanda atas undangan dari Ratu Belanda, yang secara implisit meminta simpati dari warga negara Indonesia atas perlakuan kelompok Republik Maluku Selatan (RMS) yang hendak mengadili SBY ketika SBY berada di Belanda. Jika dikaji dalam perspektif Hukum Internasional, tidak dibenarkan jika satu negara mengintervensi negara lain. RMS adalah sekelompok kecil, dan memang hanya bagian kecil di Belanda, tentunya bukan hal yang mudah bagi mereka untuk menangkap dan mengadili seorang kepala negara dari negara lain meskipun dengan tuntutan Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi senjata mereka. Jika dikorelasikan dengan beberapa kejadian-kejadian yang telah disebutkan maupun yang belum disebutkan, maka ungkapan subyektif SBY itu hanyalah sebagai alat peredam amarah rakyat yang kini telah menempati titik tertinggi. Hal itupun dijadikan unsur untuk menutupi kebingungan maupun kekonyolan SBY dalam hal pergantian Kapolri.

Lagi-lagi, para elit politik maupun praktek kapitalisme semakin lihai bergerak di negara ini. Begitu juga dengan para borjuasi-borjuasi kecil yang semakin menjamur tatkala melihat celah kecil di hadapan mereka. Budaya-budaya yang ada di negara ini telah dicederai dan diabaikan, dan tanpa adanya tindak lanjut yang jelas. Dari sisi ekonomi, penggerusan sumber daya alam oleh investor asing di negara ini menjadi pemandangan yang lumrah. Pada sisi hukum pun semakin jelas terasa bahwa masyarakat kini telah tidak melihat adanya keadilan, kemanfaatan, dan fungsi dari hukum itu sendiri. Sedangkan negara Indonesia sendiri adalah negara hukum. Masalah kecil maupun kecil yang dilakukan oleh rakyat kecil yang dikarenakan oleh desakan ekonomi maupun manuver dari para kaum kapitalis, menjadi hal yang besar dan digembar-gemborkan kepada khalayak dimulai dari perkara hingga penyelesaiannya. Sedangkan masalah kecil maupun besar yang dilakukan oleh para borjuasi dan elit politik dianggap masalah yang sepele, dan kerapkali dibiarkan mengambang begitu saja tanpa adanya penyelesaian. Dan kesemuanya itu merupakan unsur-unsur yang akan menenggelamkan negara ini secara perlahan ke depannya.

Beberapa alinea di atas hanya sebagian kecil permasalahan-permasalahan yang timbul pada rezim SBY-Budiyono, dan sah-sah saja jika dianggap sebagai dosa-dosa serta kekonyolan yang dilakukan terhadap bangsa dan negara ini. Dengan kata lain, SBY-Budiyono telah berada pada masa di bawah pengampuan mereka sebagai eksekutif di negara ini. Idealnya, ketika seorang telah dianggap berada di bawah pengampuan, maka ia harus diistirahatkan, dikarantinakan. Alternatifnya jika diistirahatkan maupun dikarantinakan, maka harus ada yang menggantikannya jika ia sedang mengemban suatu tugas.

Tidak bisa dielakkan, bahwa rezim yang ada sekarang ini telah menikam nilai-nilai Pancasila dan mengoyak-ngoyak Undang-Undang Dasar 1945 (diubah seenaknya, dan diabaikan seenaknya). Garuda Pancasila bukanlah aksesoris dinding kantor maupun rumah, Undang-Undang Dasar 1945 bukanlah buku komik atau dongeng, dan Bendera Merah Putih bukanlah sandang pembalut.

Rekan-rekan mahasiswa/i Balikpapan, kita adalah para intelektual muda, penerus bangsa, dan agen perubahan. Beberapa contoh seperti pra-kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia, pra-transisi orde lama ke orde baru, dan masa reformasi, telah membuktikan bahwa gerakan pemuda/i atau mahasiswa/i bukanlah gerakan isapan jempol semata. Gulingkan pemerintahan yang ada, hancurkan neo-kolonialisme, bakar bendera kapitalisme, koyak panji imperialisme, dan timbun kubangan-kubangan yang menjadi tempat praktek feodalisme dan hedonisme. Tanggal 20 Oktober adalah momen yang tepat untuk menyuarakan aspirasi kita semua. HIDUP RAKYAT, HIDUP MAHASISWA!!


Humas
Front Aliansi Perjuangan Rakyat
20 Oktober 2010
Mangara Maidlando Gultom

Tidak ada komentar:

Posting Komentar