Running Text

Kalau ada orang yang bilang "jujur saya katakan" atau "kalau boleh jujur", maka kemungkinan besar orang itu terbiasa dengan ketidakjujuran (pembohong)

Payah!

Di sela-sela kepenatan dalam menyusun Buku Sejarah gerejaku, handphone-ku berdering di satu malam. Nomor asing, karena tidak tertera nama di layar. Kujawab panggilan itu untuk memenuhi rasa penasaranku akan siapa yang memiliki nomor asing itu. Ohh… ternyata kawan lamaku di bangku SMP. Entah darimana ia dapatkan kontak saya.

Di dalam pembicaraan singkat itu, ia berhasil membuat kerut wajahku menjadi tampak lebih segar dari yang sebelumnya. Kami berbincang tentang pengalaman sewaktu SMP, kenangan indah yang berisikan perjuangan-perjuangan kami. Lalu ia mengajakku untuk bertemu di satu tempat untuk bertemu malam itu juga, dengan alasan melepas rindu sekalian ingin mengetahui lebih jauh tentang kehidupanku kini. Tanpa pikir panjang, kuterima ajakan itu, dan kami pun menyepakati untuk bertemu jam 1 dini hari di saat ia selesai bekerja.

Kawan yang satu ini sangat akrab denganku ketika di bangku SMP, hal itu berangkat dari kesamaan-kesamaan yang kami miliki. Kami pernah menjadi “dokter” (penjual pil koplo) sekaligus pengguna, “mengutip” ayam di sekitar sekolah bersama-sama untuk segera dijual dan dibelikan miras, membongkar dinding salah satu pesawat yang diparkir di bandara untuk miras, dan beberapa kenakalan-kenakalan lain di sekolah. Nama panggilannya adalah Udin.

Lewat 30 menit dari waktu yang dijanjikan, kami bertemu di pinggiran jalan di bilangan Antasari, depan eks-Benakutai. Erat sekali kujabat tangannya, begitu juga dengan dia membalas salam hangatku itu. Dan kami pun berbicang seputar kehidupan yang kami jalani setelah lepas dari pendidikan formal yang diselingi tingkah laku kami dulu. Tak lama kami berbincang, kami kedatangan seorang perempuan yang adalah kolega dari kawanku itu, saya memberi nama perempuan itu di catatan ini dengan nama Mitha.

Melihat perempuan itu datang sepulang dari kerja, Mitha, dengan seketika otak di bawah alam sadarku bekerja dengan cepat, yang kemudian memerintahkan mulutku untuk bertanya seputar pekerjaan Udin. Hal itu kulakukan berangkat dari kejadian-kejadian miris yang dialami perempuan yang kerap bekerja di luar dari ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam perundang-undangan yang berlaku di negaraku ini.

Kawanku, Udin, bekerja mulai dari jam 5 sore hingga jam 1 dini hari (delapan jam) karena tempatnya bekerja tergolong tempat hiburan. Dia mendapatkan waktu libur hanya satu hari saja. Kemudian jika menoleh ke Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, pada Pasal 77 ayat (2) huruf b, yakni waktu bekerja selama 40 jam dalam 5 hari dalam satu pekan, oleh karena waktu kerjanya dalam sehari adalah 8 jam. Kemudian untuk waktu istirahatnya adalah 2 hari, namun yang didapatkan hanya 1 hari saja. Yang artinya si pemberi kerja telah melanggar Pasal 79 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, yang berbunyi:
“istirahat mingguan 1 (satu) hari untuk 6 (enam) hari kerja dalam 1 (satu) minggu atau 2 (dua) hari untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu”.

Jelaslah sudah, si pemberi kerja telah melanggar peraturan perundang-undangan. Namun ketika kulanjutkan untuk membantu agar ia mendapatkan haknya, ia memilih untuk mengikuti apa adanya saja. Dia mengaku sudah cukup puas dengan apa yang didapatkannya, dan melihat suatu masa depan yang samar-samar jika tawaranku diterima.

Kawan satu ini tergolong orang yang tidak mau ribet, salah satunya oleh karena doktrinasi yang diturunkan orang tuanya agar jika bekerja tidak neko-neko. Seperti yang telah diketahui secara luas, mendapatkan pekerjaan adalah hal yang prioritas, karena dari situ seorang laki-laki mendapatkan penghasilan untuk menghidupi keluarganya. Menjadi hal yang lebih baik daripada menggembel, atau pengangguran.

Setelah beberapa kali pertemuan di tiap tengah malam berikutnya, aku mulai sedikit akrab dengan yang bernama Mitha, kolega si Udin. Kucoba memasuki dunia kerjanya, karena mataku sedikit prihatin melihat keletihannya tiap kali bertemu setelah ia pulang kerja. Kutanyakan tempat kerjanya, dan dia jawab bahwa dia bekerja di dua tempat sekaligus dalam satu hari. Yang satu di bidang hiburan, dan yang satu lagi di bidang jasa. Anehnya, kedua tempatnya bekerja sama-sama dimulai dari siang hari dan berakhir pada malam hari. Kuselingi pertanyaanku dengan guyonan mendapatkan jasa yang ia pekerjakan. Di balik pekerjaan jasanya, ia juga memberikan jasa lain (plus-plus).

Dia menjelaskan bahwa pekerjaannya mulai dari jam 11 siang hingga jam 1 malam. Untuk yang di bidang jasa, jam kerjanya berakhir pada jam 23.00 (11 malam). Kedua-duanya tidak ada waktu istirahat dalam sehari, dengan alasan pengunjung maupun pengguna jasa tidak boleh dibuat menunggu. Kesempatan istirahat dimilikinya ketika tidak ada pengunjung dan pengguna jasa, dan di saat pekerja sedang makan. Kemudian dalam satu bulan, ia hanya memperoleh 2 hari istirahat dan tidak boleh berturut-turut.

Lalu kuberikan mbak Mitha tersebut pencerahan mengenai ketenagakerjaan. Bahwa setiap pengusaha/pemberi kerja wajib memberikan waktu istirahat selama satu jam dalam sehari (setelah kupelajari lagi, ternyata diatur pada Pasal 79, ayat (1) dan (2) UU Ketenagakerjaan). Kemudian dalam sepekan, pengusaha/pemberi kerja wajib menerapkan waktu kerja sebanyak 40 jam. Setelah kuhitung-hitung, waktu kerjanya dalam sepekan adalah 98 jam jika bekerja sepekan berturut-turut. Kemudian, ia harus mendapatkan layanan diantar pulang dari pengusaha, karena ia pulang kerja jam 1 malam (Pasal 76 ayat (4) UU Ketenagakerjaan).

Hampir sama dengan yang kujelaskan kepada Udin, ketika kutanyakan mengenai kesediaannya untuk melanjutkan permasalahan ini, dia memilih untuk tidak. Seketika keadaan menjadi berbeda. Aku merasakannya setelah melihat raut wajahnya yang mulai ketakutan karena dia tidak ingin kehilangan pekerjaan. Dan dia juga mengungkapkan bahwa selama ini dia merasa fun-fun (nyaman) saja dengan keadaan itu.

Demi menjaga kehangatan pertemanan, saya bertanya lagi, namun di luar masalah ketenagakerjaan, “Lalu, kalau pulang dijemput siapa mbak?”, sambil mengeluarkan senyumku yang manis. Dijawab: “Cowokku”. Yang dimaksud adalah pacarnya, yang selalu setia menunggunya pulang kerja meski hingga larut malam. Lha, pikiranku menjadi sedikit nakal dan melanjutkan pertanyaan: “Trus, kalo sampean pas lagi ‘lembur’, cowoknya mbak gimana?” Dia jawab dengan mudah, “Ya dia nunggu di depan hotel”. Rokokku yang berada di antara jari tengah dan jari telunjuk segera bergerak dan rokok itu kemudian patah oleh karena gerak refleksku setelah mendengar jawabannya.

Dari serangkaian pertemuan dengan kawan lamaku di atas, banyak hal yang kuperoleh. Seperti “kenakalan-kenakalan” para pengusaha (pemberi kerja) yang merajalela di bidang usaha hiburan dan jasa. Seakan menginjak-injak seporsi makanan yang berisikan nasi dan ikan asin. Sama halnya seperti ketika saya bekerja di bidang jasa sebelumnya. Jabatan yang kupegang sebagai sales menuntutku untuk menyediakan waktu lebih terhadap pelanggan, sehingga menyita banyak waktuku untuk melakukan aktivitas yang lainnya.

Di sisi lain, ketidaktahuan seorang akan aturan-aturan yang berlaku dijadikan sebagai alat untuk memperdaya pekerja agar mau bekerja seperti budak. Dalam dunia internasional, Hak Asasi Manusia sangat dijaga, dan sudah menjadi sebuah kesepakatan umum atau mendasar. Di negara kita pun, Indonesia, hal itu diatur dalam UUD beserta turunannya/teknis (UU HAM, UU Ketenagakerjaan). Di mata para kritikus dan pengamat hukum, sistem yang seperti ini disebut-sebut sebagai perbudakan modern.

Kemudian doktrinasi kolot yang diturunkan oleh orang tua: belajar, sekolah, kerja, kawin, punya anak, dan mati masuk surga. Kalau di sekolah jangan melawan guru, di pekerjaan jangan melawan pimpinan. Kalau melawan guru, nanti nilainya jadi jelek. Kalau melawan pimpinan di tempat kerja, nanti bisa diberhentikan dari pekerjaan. Jika diberhentikan dari pekerjaan, maka tidak punya penghasilan. Yang berartikan kondisi sosial si anak menjadi berada di bawah orang-orang yang bekerja. Jika ditarik secara keseluruhan, bisa disebut doktrin zona aman. Yang mengakibatkan anak menjadi manut-manut saja dengan apa yang terjadi, meskipun sang anak dizolimi.

Entah dikemanakan ajaran agama yang luhur itu, yang mengajarkan untuk selalu melakukan kebenaran, menyebarkan kebenaran, yang mengajarkan ketundukan kepada Tuhan semata, yang mengajarkan keluhuran jika melakukan perintah Tuhannya. Menurutku, mendingan tidak usah diberikan ajaran agama kepada anaknya, tidak usah mengajarkan beribadah. Ajarkan saja, bahwa Tuhan itu tidak ada, hanya bualan hampa belaka, kalau toh tidak mempunyai rasa takut sedikitpun jika berbuat di luar keinginannya!! Ajarkan saja bahwa kamu, hai orang tua, dan calon pemimpin anakmu adalah Tuhan yang sesungguhnya!

Kisah percintaan Mitha dengan pacarnya. Kendati sang pacar setia dan mengerti akan pekerjaannya, bukan berarti Mitha menjadi bebas bergerak semaunya. Aku ingin berontak, tapi kusadari batasanku cukup di pencerahan. Harus kuakui, itulah cerminan percintaan manusia pada zaman sekarang.

Banyak orang-orang yang menganggap bahwa Indonesia telah merdeka, namun yang kusayangkan adalah kemerdekaan yang dimaksud adalah bebas dari penjajah yang datang ke negeri ini dengan segala perlengkapan perang (senjata api, meriam, bom, granat, dan sebagainya). Untuk merdeka, yang saya pahami adalah bebas segala bentuk intimidasi, pengekangan hak, kebebasan untuk mendapatkan hak-hak yang seharusnya didapatkan, bebas untuk mengutarakan maksud dan keinginan. Selama tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di masyarakat dan bernegara.

Mengutip ucapan seorang penulis dari Irlandia yang bernama Erskin Childers, “Kemerdekaan bukanlah soal tawar-menawar, kemerdekaan sebagai maut, dia ada atau tidak ada. Kalau orang, menguranginya, maka itu bukan kemerdekaan lagi”. Cerminan kemerdekaan belum kutemukan merata di jagad raya ini. Wahai manusia, apa yang kau cari??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar